Selasa, 07 Mei 2013

Proposal MPH


Judul                : Perbandingan Adopsi dalam Staatblad No. 129 Tahun 1917 dengan Pengangkatan Anak dalam Undang – Undang No. 7 Tahun 1989 jo No. 3 Tahun 2006

A.      Latar Belakang
Secara naluri, setiap pasangan suami – istri berkeinginan untuk mempunyai anak sebagai penyambung keturunan. Namun tidak semua keinginan pasangan itu dapat terwujud, hal ini dikarenakan beberapa faktor seperti adanya kemungkinan salah satu pihak atau kedua pasangan itu mengidap penyakit, cacat, dan lain- lain sehingga untuk memperoleh keturunan itu menjadi tidak mungkin.
Untuk itu, bagi pasangan yang terkendala tersebut dapat melakukan berbagai cara dan yang paling popular diantaranya adalah melalui adopsi yaitu mengangkat anak orang lain baik dari keluarga sendiri maupun bukan, untuk kemudian dijadikan anak seperti halnya anak kandung yang dapat mewarisi harta peninggalan orang tua sosiologisnya, memakai nama ayah sosiologisnya sehingga putuslah hubungan nasab dengan keluarga biologisnya. Hal ini didasarkan oleh Staatsblad Nomor 129 Tahun 1917, yang perlu dicatat adalah bahwa adopsi yang diatur dalam ketentuan Staatsblad tersebut hanya berlaku bagi masyarakat Tionghoa, dimana pada awalnya digunakan untuk menjawab kebutuhan masyarakat Tionghoa yang sangat mengandalkan anak laki – laki sebagai penerus usaha sekaligus pewaris, yang kemudian disempurnakan dengan adanya yurisprudensi ( Putusan Pengadilan Jakarta Istimewa ) Tahun 1963 yang juga memperbolehkan adopsi anak perempuan.
Berdasarkan SEMA No. 6 Tahun 1983 ( Surat Edaran Mahkamah Agung ) menetapkan adopsi langsung antara orang tua kandung dan orang tua angkat ( private adoption ), juga menetapkan adopsi oleh seorang warga Indonesia yang tidak terikat pada perkawinan yang sah atau belum menikah ( single parent adoption ). Dengan adanya yurisprudensi dan SEMA No.6 tahun 1983 maka adopsi yang semula untuk masyarakat Tionghoa saja, berkembang mencakup seluruh warga indonesia dan berlaku untuk kedua jenis kelamin anak yang akan diadopsi.
Proses adopsi akan menimbulkan hubungan hukum, baik bagi anak yang diangkat maupun orang tua sosiologis dan biologisnya. Sehingga sebagai upaya perlindungan dan kepastian hukum terhadap hak – hak yang timbul, maka ketentuan - ketentuan adopsi yang didasarkan oleh Staatsblad Nomor 129 Tahun 1917 dilakukan didepan Pengadilan Negeri sebagai bukti atau tanda resmi menjadi anak angkat. Namun, implikasi hukumnya adalah anak yang tadinya tidak mempunyai hubungan darah dengan orang tua sosiologisnya setelah diangkat dianggap sebagai anak sendiri.
Hal ini menimbulkan polemik dalam masyarakat serta tidak dibenarkan menurut kaca mata hukum islam yang dianut oleh mayoritas bangsa Indonesia. Dimana pengangkatan anak tidak dapat menyebabkan hubungan nasab antara anak angkat dengan orang tua angkat, dan tidak memutuskan hubungan nasab antara anak angkat dengan orang tua kandungnya. Kondisi yang demikian ini mengakibatkan orang-orang Islam tidak terjamin hak-hak sipilnya dalam melakukan pengangkatan anak sesuai dengan hukum Islam sebelum lahirnya UU No7 Tahun 1989 jo No 3 Tahun 2006 yang tidak mengatur tentang akibat hukum pengangkatan anak yang sesuai dengan hukum Islam
Berdasarkan kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 171 yang mengatur tentang pengangkatan anak menurut hukum islam disebutkan :
anak angkat adalah anak yang dalam pemeliharaan kehidupannya sehari – hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawab dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan Pengadilan. Jadi tidak memutus hubungan nasab antara anak angkat dengan orang tua kandungnya.
Dalam rangka reformasi hukum dan memenuhi kebutuhan masyarakat Islam Indonesia, maka pembuat undang – undang  memeberikan peluang pengangkatan anak yang didasarkan syariat islam yaitu melalui Pengadilan Agama yang didasarkan pada UU No7 Tahun 1989 jo No 3 Tahun 2006 dimana dalam pasal 49 :
Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:
a.   perkawinan;  b. waris;  c. wasiat;  d. hibah;  e. wakaf;  f. zakat;  g. infaq;
h.  shadaqah;  dan  i. ekonomi syari'ah.

Dalam penjelasan mengenai wewenang Pengadilan Agama berkaitan dengan masalah perkawinan adalah dalam poin 20 yaitu menyangkut penetapan asal-usul seorang anak dan penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam. Namun ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penetapan anak angkat dihadapan Pengadilan Agama.yaitu :
1.      Anak angkat tidak dapat menggunakan nama ayah angkatnya, seperti dijelaskan oleh ayat 5 surat al – Ahzab
2.      Anatara anak angkat dengan ayah angkat, ibu angkat dan saudara angkat tidak memiliki hubungan darah. Mereka dapat tinggal serumah, tetapi harus menjaga ketentuan mahram dalam hukum islam
3.      Diantara mereka tidak saling mewarisi
Jadi Beralihlah wewenang mengenai adopsi yang dulunya berada di Pengadilan Negeri didasarkan Staatsblad Nomor 129 Tahun 1917 yang sebenarnya merupakan produk asli Belanda dan masih berlaku akibat adanya pasal II aturan peralihan yang menjadikan Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar. Namun kemudian berdasarkan pada UU No7 Tahun 1989 jo No 3 Tahun 2006 maka istilah adopsi yang dipakai dalam Staatsblad Nomor 129 Tahun 1917 sebutannya menjadi pengangkatan anak dan menjadi wewenang Pengadilan Agama.
Namun dalam  penerapannya, hukum di Indonesia itu menganut   dualisme badan peradilan yang masing – masing memiliki wewenag mengadili jenis perkara yang sama. Sehingga dalam praktiknya dijumpai orang –orang islam yang melakukan adopsi berada dihadapan Pengadilan Negeri dengan segala konsekwensinya. Padahal pertimbangan hukum  adopsi yang berdasarkan tradisi barat atau Belanda melalui Pengadilan Negeri itu berbeda dengan pertimbangan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam melalui Pengadilan Agama. Oleh karena itu penulis mengangkat masalah perbandingan antara adobsi yang diatur berdasarkan staatblad No 129 tahun 1917 dengan pengangkatan anak dalam undang – undang  No7 Tahun 1989 jo No 3 tahun 2006 serta batas – batas kewenangan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama terhadap pertimbangan hukum pengakatan anak.

B. Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Perbandingan adopsi dalam staatblad tahun 1917 No. 129 dengan pengangkatan anak dalam undang – undang No. 3 tahun 2006 ?
2.      Batas kewenangan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama terhadap pertimbangan hukum pengakatan anak.
C. Tujuan Penulisan
Penelitian ini bertujuan untuk :
1.      Untuk memahami dan menelaah perbedaan adobsi dan pengangkatan anak yang masing – masing diatur dalam staatblad tahun 1917 No. 129 dan Undang – undang No. 7 Tahun 1989 jo No. 3 tahun 2006
2.      Untuk mengetahui kewenangan masing masing dari Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama terhadap pertimbangan hukum pegangkatan anak
  
D. Manfaat Penulisan
Penulisan penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk menambah khasanah ilmu pengetahuan sehingga pembaca dapat memahami perbedaan yang jelas antara adopsi dan pengangkatan anak, serta mengetahui kewenangan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama terhadap pengangkatan anak / adopsi sehingga nantinya dapat dijadikan sebagai pedoman dalam pengambilan kebijakan berkaitan dengan pengangkatan anak. Selain itu, penelitian ini juga dapat dimanfaatkan sebagai dasar penelitian penulis lain yang berminat mengangkat masalah serupa dalam penelitiannya.

E. Tinjauan Pustaka
Pengangkatan anak di Pengadilan Agama tidak sama dengan Pengangkatan Anak di Peradilan Umum yang dikenal dengan Adopsi (Inggris) atau Tabanny (Arab) berdasarkan pengertian dalam Kompilasi Hukum Islam dimana berarti mengangkat anak orang lain untuk dijadikan sebagai anak sendiri dan mempunyai hak yang sama dengan anak kandung. Tetapi pengangkatan anak di Pengadilan Agama lebih kepada mengambil anak orang lain untuk diasuh dan dididik dengan penuh perhatian dan kasih sayang tanpa diberikan status anak kandung namun diperlakukan sebagai anak sendiri.[1]
Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, anak angkat adalah anak orang lain yang diambil ( dipelihara ) serta disahkan secara hukum sebagai anak sendiri. Dalam hal ini, pengangkatan anak merupakan suatu cara untuk mengadakan hubungan antara orang tua dan anak angkat, yang diatur dalam perundang – undangan. Akibatnya anak yang diangkat dikemudian hari memiliki status sebagai anak yang sah dengan segala hak dan kewajiban.[2] 
Het Staatsblad van Nederlandsch-Indie atau periode transisi disebut Het Staatsblad van Indonesie dengan penyebutan singkat Staatsblad merupakan referensi pemuatan publikasi dari segala bentuk pengumuman,Ordonantie dan Reglement ( Wikipedia ). Pada periode kemerdekaan pernah dikenal sebagai Lembaran Negara Republik Indonesia Serikat akan tetapi, setelah Dekrit Presiden, kembali disebut Lembaran Negara Republik Indonesia yang merupakan publikasi berkala dengan ikutan penomoran pemuatan yang berisikan berbagai informasi yang berkaitan dengan segala bentuk Kebijakan, Pengumuman, Peraturan dan Perundangan yang dikeluarkan oleh Badan, Lembaga atau Pemerintah berketentuan setelah pencatatan dan dipublikasikan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia mempunyai kekuatan pemaksaan atas pemberlakuan pada keseluruhan wilayah kedaulatan Republik Indonesia.[3]
Undang - undang  adalah (1) ketentuan dan peraturan negara yg dibuat oleh pemerintah (menteri, badan eksekutif, dsb), disahkan oleh parlemen (Dewan Perwakilan Rakyat, badan legislatif, dsb), ditandatangani oleh kepala negara (presiden, kepala pemerintah, raja), dan mempunyai kekuatan yg mengikat; (2) aturan yg dibuat oleh orang atau badan yg berkuasa: taat pd ~ partai; (3) hukum (dl arti patokan yg bersifat alamiah atau sesuai dng sifat-sifat alam): ~ untuk membangun kalimat dr tiap-tiap bahasa memang berlainan.[4]
Pengadilan Negeri berdasarkan UU No 2 Tahun 1986 jo UU No 8 Tahun 2004 tentang Peradilan Umum Pasal 4 ayat 1 berbunyi “ Pengadilan Negeri merupakan sebuah lembaga peradilan di ingkungan Peradilan Umum yang berkedudukan di ibu kota kabupaten atau kota” yang berfungsi untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara pidana dan perdata bagi rakyat pencari keadilan pada umumnya. Sedangkan berdasarkan UU No 7 Tahun 1989 jo UU No 3 Tahun 2006   Pasal 4 ayat 1 “Pengadilan agama berkedudukan di ibu kota kabupaten/kota dan daerah hukumnya meliputi wilayah kabupaten/kota”. Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:
a.   perkawinan;  b. waris;  c. wasiat;  d. hibah;  e. wakaf;  f. zakat;  g. infaq;
h.  shadaqah;  dan  i. ekonomi syari'ah.

Masalah pengangkatan anak diatur dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, pasal 56 :
1.        Setiap anak berhak untuk dibesarkan, dipelihara, dirawat, dididik, diarahkan dan dibimbing kehidupannya oleh orang tua atau walinya sampai dewasa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang – undangan.
2.        Dalam hal orang tua tidak mampu membesarkan dan memelihara anaknya dengan baik dan sesuai dengan undang – undang ini maka anak tersebut boleh diasuh atau diangkat sebagai anak oleh orang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang – undangan.

Akibat dari adanya Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1997 tentang Gaji Pegawai Negeri Sipil, yang memungkinkan Pegawai Negeri Sipil untuk mendapatkan tunjangan bagi anak yang diadopsi melalui penetapan pengadilan, maka mulailah praktik adopsi dengan ketetapan pengadilan. Sementara itu bagi mereka yang termasuk ke dalam golongan penduduk keturunan Tionghoa, berlaku peraturan adopsi yang diatur dalam Staatsblad 1917 No. 129 yang memungkinkan dilakukannya adopsi anak laki – laki. Akan tetapi, berdasarkan yurisprudensi tetap tahun 1983, Mahkamah Agung menganggap sah pula adopsi anak perempuan dan adopsi menurut ketentuan staatsblad 1917 No 129 itu cukup dengan akte notaris saja.
Sejak diundangkannya UU No 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama tanggal 20 Maret 2006, Pengadilan Agama secara yuridis formal baru memiliki kewenangan untuk memeriksa dan mengadili permohonan pengangkatan anak sesuai dengan hukum islam ( Penjelasan UU No 3 Tahun 2006 angka 37 pasal 49 huruf a nomor 20). Sementara sebelum lahirnya UU No 3 Tahun 2006 perkara permohonan pengangkatan anak hanya menjadi kewenangan Pengadilan Negeri
Jika ditinjau dari hukum perdata, Indonesia di satu sisi  membenarkan  anak angkat dalam pengertian adopsi yang sesungguhnya, dimana anak tersebut memakai marga orang tua angkat dan putus hubungan dengan orang tua sebenarnya, serta kewarisannya beralih kepada orang tua angkatnya. Hal demikian, berdasarkan praktik pengadilan, Ketentuan tentang pengangkatan anak sebagaimana diatur dalam Staatsblad Nomor 129 Tahun 1917 Pasal 5 s.d 15 antara lain:
a. Suami istri atau duda yang tidak mempunyai anak laki-laki yang sah dalam garis laki-laki baik keturunan dari kelahiran atau keturunan karena pengangkatan. Orang demikian diperbolehkan mengangkat anak laki-laki sebagai anaknya;
b.  Seorang janda (cerai mati) yang tidak mempunyai anak laki-laki dan tidak dilarang oleh bekas suaminya dengan suatu wasiyat; (Pasal 5 )
c. Yang boleh diangkat adalah anak Tionghoa laki-laki yang tidak beristri dan tidak beranak dan tidak sedang dalam status diangkat oleh orang lain. (Pasal 6)
d. Usia yang diangkat harus 18 tahun lebih muda dari suami dan 15 tahun lebih muda dari istri; (Pasal 7 ayat 1)
e. Adopsi harus dilakukan atas kata sepakat;
f. Pengangkatan anak harus dilakukan dengan akta notaris; (Pasal 10)
g. Pengangkatan terhadap anak perempuan dan pengangkatan dengan cara tidak membuat akta otentik batal demi hukum ( Pasal 15 ayat 2 ). Di samping itu, adopsi atas tuntutan oleh pihak yang berkepentingan juga dapat dinyatakan batal;
h.  Suatu adopsi tidak dapat dibatalkan dengan kesepakatan para pihak ( Pasal 15 ayat 1 ). Pasal tersebut merupakan penyimpangan dari ketentuan Pasal 1338 ayat 2 KUH Perdata ( BW ) yang menyatakan bahwa suatu perjanjian yang dibuat secara sah dapat dibatalkan dengan sepakat para pihak yang membuat perjanjian yang bersangkutan.
i.  Secara yuridis formal, motif tidak ada ketentuannya. Akan tetapi, secara kultural motif pengangkatan anak dalam sistem adat Tionghoa agar dapat meneruskan keturunan, agar dapat menerima abu leluhur, dan sebagai pancingan agar dapat memperoleh keturunan laki-laki.
j. Akibat hukum pengangkatan anak tersebut, antara lain:
1)   Pasal 12 memberikan ketentuan, bahwa adopsi menyebabkan anak angkat tersebut berkedudukan sama dengan anak sah dari perkawinan orang tua yang mengangkatnya. Termasuk, jika yang mengangkat anak tersebut seorang janda, anak angkat (adoptandus) tersebut harus dianggap dari hasil perkawinan dengan almarhum suaminya.
2)  Adopsi menghapus semua hubungan kekeluargaan dengan keluarga asal, kecuali dalam hal:
a) Penderajatan kekeluargaan sedarah dan semenda dalam bidang perkawinan;
b) Ketentuan pidana yang didasarkan atas keturunan;
c) Mengenai perhitungan biaya perkaradan penyanderaan;
d) Mengenai pembuktian dengan saksi;
e) Mengenai saksi dalam pembuatan akta autentik.
3)   Oleh karena akibat hukum adopsi menyebabkan hubungan kekeluargaan dengan keluarga asalnya menjadi hapus, maka hal ini berakibat juga pada hukum waris, yaitu: anak angkat tidak lagi mewaris dari keluarga sedarah asalnya, sebaliknya sekarang mewaris dari keluarga ayah dan ibu yang mengadopsi dirinya.

Karena pengangkatan anak, terrputus hubungan perdata yang berpangkal pada keturunan karena kelahiran yaitu antara anak dengan orang tua kandung menurut M. Budiarto.[5]  Demikian pula sebaliknya, anak angkat berhak mendapatkan harta warisan dari orang tua angkatnya, maka orang tua angkatpun berhak mewarisi anak angkatnya. Hal ini masuk dalam KUHPdt dan tidak berlaku bagi seluruh bangsa Indonesia tetapi untuk golongan tertentu yaitu Tionghoa ( Cina ).
Sedangkan Hukum perdata yang diberlakukan untuk orang pribumi diberlakukanlah berdasarkan Perintah UU No 3 tahun 2006 Tentang perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama dan Akibat Hukumnya, dimana dalam pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006 mengatakan : “Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara ditingkat pertama anatara orang orang yang beragama Islam dibidang : a Perkawinan…..”Penjelasa huruf a pasal 49 ini, antara lain, mengatakan “ yang dimaksud dengan perkawinan adalah hal – hal yang diatur dalam atau berdasarkan undang – undang mengenai perkawinan yang berlakuyang dilakukan menurut syari’ah, antara lain…. Penetapan asal usul anak dan penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam:…”

F.      Metode Penulisan
1.      Jenis penelitian
Dalam pembuatan karya ilmiah ini, penulis menggunakan jenis penelitian hukum normatif, yaitu melalui pendekatan undang – undang ( statute approach ), dimana dalam  penelitian normatif ini peneliti menelaah, membandingkan atau mencocokan,  antara adopsi dalam staatblad Tahun 1917 No. 129 dengan pengangkatan anak dalam Undang – undang No 3 Tahun 2006
2. Sumber Bahan Hukum
Sumber Bahan Hukum yang digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah :
a.       Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer yang digunakan adalah
1)      Peraturan Perundang-Undangan yaitu :
1)      UU No 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
2)      UU No 7 Tahun 1989 jo UU No 3 Tahun 2006 Tentang Pengadilan Agama
3)      Staatsblad No 129 Tahun 1917
b.      Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder yang digunakan adalah jurnal – jurnal yaitu :
1)      Mimbar Hukum No 54 XII 2001, alhikmah dan DITBINBAPERA Islam
1)      Ilyas Abustani, 2001, Kedudukan anak angkat dalam kewarisan menurut hukum perdata dan Hukum Islam, h.16
c.       Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier yang digunakan adalah:
1)      Kamus Bahasa Indonesia online
2)      Enskiplopedi
3)      Internet : Badilag.net, wikipedia.com,

3      Metode Pengumpulan Bahan Hukum
Metode yang digunakan adalah teknik pengumpulan data, baik secara online yaitu berupa pengumpulan data- data yang berasal dari situs – situs online ( internet ) dan offline yaitu dengan mencari bahan hukum yang berasal dari buku – buku, jurnal tertulis,termasuk juga wawancara tetapi wawancara ini dilakukan bukan untuk menggali persoalan secara empiris tetapi hanya sebagai penambah dalam bahan hukum sekunder sehingga terkumpullah data – data baik berupa data hukum primer, sekunder dan tersier .

4. Analisis Bahan Hukum
Dari keseluruhan data yang diperoleh, baik dari bahan hukum primer, sekunder dan tersier diolah dengan menggunakan analisis kualitatif  dimana analisis kualitatif ini merupakan aktivitas intensive yang memerlukan pengertian yang mendalam, kecerdikan, kreativitas, dan kepekaan konseptual yang diformulasi dan distandardisasi menurut pertimbangan-pertimbangan umum. Data yang yang dikumpulkan telah diklasifikasikan berdasarkan kategori-kategori tertentu yang sebelumnya telah ditetapkan, dan kemudian dianalisis dengan melakukan penafsiran atau interpretasi yaitu interprestasi bahasa atau gramatikal, dimana fungsinya untuk mengetahui makna ketentuan undang-undang dengan menguraikannya menurut bahasa, susunan kata atau bunyinya.







Daftar Pustaka

Ilyas Abustani, 2001, Kedudukan anak angkat dalam kewarisan menurut hukum perdata dan Hukum Islam, h.16-24.

Mimbar Hukum No 54 Tahun.XII 2001 – Alhikmah dan DITBINBAPERA Islam
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka
Subekti dan Tjitrosudibio, 1974, Kitab Undang – Undang Hukum Perdata ( BW ), Jakarta: Pradnya Paramita.
Kompilasi Hukum Islam tentang Pengertian Pengangkatan Anak
Undang –Undang No7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama
Undang – Undang No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas Undang – Undang No.7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama
Staatsblad No.129 Tahun 1917 Tentang Adopsi
Undang – Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM 
http://www.badilag.net/ diakses Hari Minggu, 9 Desember 2012, pukul 15.00 WIB
http://kamusbahasaindonesia.org/ diakses Hari Minggu, 9 Desember 2012, pukul 15.00 WIB
http://id.wikipedia.org/wiki/Halaman_Utama diakses Hari Minggu, 9 Desember 2012, pukul 15.00 WIB



     



[1] http://www.badilag.net/ diakses 9 Desember 2012 pukul 15.00 WIB

[2] Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2008), hlm 586

[3] http://id.wikipedia.org/wiki/Halaman_Utama diakses 9 Desember 2012 pukul 15.00 WIB

[4] http://kamusbahasaindonesia.org/ diakses 9 Desember pukul 15.00 WIB

[5] M. Budiarto,op.cit, h.21-22

Tidak ada komentar:

Posting Komentar