Judul : Perbandingan
Adopsi dalam Staatblad No. 129 Tahun 1917 dengan Pengangkatan Anak dalam Undang
– Undang No. 7 Tahun 1989 jo No. 3 Tahun 2006
A.
Latar Belakang
Secara naluri, setiap pasangan suami – istri berkeinginan untuk mempunyai
anak sebagai penyambung keturunan. Namun tidak semua keinginan pasangan itu
dapat terwujud, hal ini dikarenakan beberapa faktor seperti adanya kemungkinan
salah satu pihak atau kedua pasangan itu mengidap penyakit, cacat, dan lain-
lain sehingga untuk memperoleh keturunan itu menjadi tidak mungkin.
Untuk itu, bagi pasangan yang terkendala tersebut
dapat melakukan berbagai cara dan yang paling popular diantaranya adalah
melalui adopsi yaitu mengangkat anak orang lain baik dari keluarga sendiri
maupun bukan, untuk kemudian dijadikan anak seperti halnya anak kandung yang
dapat mewarisi harta peninggalan orang tua sosiologisnya, memakai nama ayah
sosiologisnya sehingga putuslah hubungan nasab dengan keluarga biologisnya. Hal
ini didasarkan oleh Staatsblad Nomor 129
Tahun 1917, yang perlu
dicatat adalah bahwa adopsi yang diatur dalam ketentuan Staatsblad tersebut
hanya berlaku bagi masyarakat Tionghoa, dimana pada awalnya
digunakan untuk menjawab kebutuhan masyarakat Tionghoa yang sangat mengandalkan anak laki –
laki sebagai penerus usaha sekaligus pewaris, yang kemudian disempurnakan
dengan adanya yurisprudensi ( Putusan Pengadilan Jakarta Istimewa ) Tahun 1963 yang
juga memperbolehkan adopsi anak perempuan.
Berdasarkan SEMA No. 6 Tahun 1983 ( Surat Edaran Mahkamah
Agung ) menetapkan adopsi langsung antara orang tua kandung dan orang tua
angkat ( private adoption ), juga menetapkan adopsi oleh seorang warga
Indonesia yang tidak terikat pada perkawinan yang sah atau belum menikah (
single parent adoption ). Dengan adanya yurisprudensi dan SEMA No.6 tahun 1983
maka adopsi yang semula untuk masyarakat Tionghoa saja, berkembang mencakup
seluruh warga indonesia dan berlaku untuk kedua jenis kelamin anak yang akan
diadopsi.
Proses
adopsi akan menimbulkan hubungan hukum, baik bagi anak yang diangkat maupun
orang tua sosiologis dan biologisnya. Sehingga sebagai upaya perlindungan dan
kepastian hukum terhadap hak – hak yang timbul, maka ketentuan - ketentuan
adopsi yang didasarkan oleh Staatsblad Nomor 129 Tahun 1917 dilakukan didepan Pengadilan Negeri sebagai bukti atau tanda
resmi menjadi anak angkat. Namun, implikasi hukumnya adalah anak yang tadinya
tidak mempunyai hubungan darah dengan orang tua sosiologisnya setelah diangkat
dianggap sebagai anak sendiri.
Hal
ini menimbulkan polemik dalam masyarakat serta tidak dibenarkan menurut kaca
mata hukum islam yang dianut oleh mayoritas bangsa Indonesia. Dimana pengangkatan
anak tidak dapat menyebabkan hubungan nasab antara anak angkat dengan orang tua
angkat, dan tidak memutuskan hubungan nasab antara anak angkat dengan orang tua
kandungnya. Kondisi yang demikian ini mengakibatkan orang-orang Islam tidak
terjamin hak-hak sipilnya dalam melakukan pengangkatan anak sesuai dengan hukum
Islam sebelum lahirnya UU No7 Tahun 1989 jo No 3 Tahun 2006 yang tidak mengatur
tentang akibat hukum pengangkatan anak yang sesuai dengan hukum Islam
Berdasarkan kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 171
yang mengatur tentang pengangkatan anak menurut hukum islam disebutkan :
anak angkat
adalah anak yang dalam pemeliharaan kehidupannya sehari – hari, biaya
pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawab dari orang tua asal kepada
orang tua angkatnya berdasarkan putusan Pengadilan. Jadi tidak memutus hubungan nasab antara anak angkat
dengan orang tua kandungnya.
Dalam
rangka reformasi hukum dan memenuhi kebutuhan masyarakat Islam Indonesia, maka
pembuat undang – undang memeberikan
peluang pengangkatan anak yang didasarkan syariat islam yaitu melalui
Pengadilan Agama yang didasarkan pada UU No7 Tahun 1989 jo No 3 Tahun 2006 dimana dalam pasal 49
:
Pengadilan agama bertugas
dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama
antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:
a. perkawinan; b. waris; c. wasiat; d. hibah;
e. wakaf; f. zakat; g. infaq;
h. shadaqah;
dan
i. ekonomi syari'ah.
Dalam
penjelasan mengenai wewenang Pengadilan Agama berkaitan dengan masalah
perkawinan adalah dalam poin 20 yaitu menyangkut penetapan asal-usul seorang
anak dan penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam. Namun ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penetapan anak angkat dihadapan
Pengadilan Agama.yaitu :
1.
Anak angkat tidak dapat menggunakan nama ayah angkatnya, seperti
dijelaskan oleh ayat 5 surat al – Ahzab
2.
Anatara anak angkat dengan ayah angkat, ibu angkat dan saudara
angkat tidak memiliki hubungan darah. Mereka dapat tinggal serumah, tetapi
harus menjaga ketentuan mahram dalam hukum islam
3.
Diantara mereka tidak saling mewarisi
Jadi Beralihlah wewenang
mengenai adopsi yang dulunya berada di Pengadilan Negeri didasarkan Staatsblad
Nomor 129 Tahun 1917 yang sebenarnya
merupakan produk asli Belanda dan masih berlaku akibat adanya pasal II aturan
peralihan yang menjadikan Segala badan negara dan peraturan yang ada masih
langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar.
Namun kemudian berdasarkan pada UU No7 Tahun 1989 jo No 3 Tahun 2006 maka istilah adopsi yang dipakai dalam Staatsblad
Nomor 129 Tahun 1917 sebutannya menjadi pengangkatan anak
dan menjadi wewenang Pengadilan Agama.
Namun dalam penerapannya, hukum di Indonesia itu menganut dualisme badan peradilan yang masing –
masing memiliki wewenag mengadili jenis perkara yang sama. Sehingga dalam
praktiknya dijumpai orang –orang islam yang melakukan adopsi berada dihadapan
Pengadilan Negeri dengan segala konsekwensinya. Padahal pertimbangan hukum adopsi yang berdasarkan tradisi barat atau
Belanda melalui Pengadilan Negeri itu berbeda dengan pertimbangan pengangkatan
anak berdasarkan hukum Islam melalui Pengadilan Agama. Oleh karena itu penulis
mengangkat masalah perbandingan antara adobsi yang diatur berdasarkan staatblad
No 129 tahun 1917 dengan pengangkatan anak dalam undang – undang No7 Tahun 1989 jo No 3 tahun 2006 serta batas – batas
kewenangan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama terhadap pertimbangan hukum
pengakatan anak.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Perbandingan adopsi dalam
staatblad tahun 1917 No. 129 dengan pengangkatan anak dalam undang – undang No.
3 tahun 2006 ?
2. Batas kewenangan Pengadilan Negeri
dan Pengadilan Agama terhadap pertimbangan hukum pengakatan anak.
C. Tujuan Penulisan
Penelitian ini bertujuan untuk :
1.
Untuk memahami dan menelaah perbedaan
adobsi dan pengangkatan anak yang masing – masing diatur dalam staatblad tahun
1917 No. 129 dan Undang – undang No. 7 Tahun 1989 jo No. 3 tahun 2006
2.
Untuk mengetahui kewenangan masing
masing dari Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama terhadap pertimbangan hukum
pegangkatan anak
D. Manfaat Penulisan
Penulisan penelitian ini
diharapkan dapat bermanfaat untuk menambah khasanah ilmu pengetahuan sehingga
pembaca dapat memahami perbedaan yang jelas antara adopsi dan pengangkatan
anak, serta mengetahui kewenangan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama
terhadap pengangkatan anak / adopsi sehingga nantinya dapat dijadikan sebagai pedoman
dalam pengambilan kebijakan berkaitan dengan pengangkatan anak. Selain itu,
penelitian ini juga dapat dimanfaatkan sebagai dasar penelitian penulis lain
yang berminat mengangkat masalah serupa dalam penelitiannya.
E. Tinjauan Pustaka
Pengangkatan anak di Pengadilan Agama tidak sama
dengan Pengangkatan Anak di Peradilan Umum yang dikenal dengan Adopsi (Inggris)
atau Tabanny (Arab) berdasarkan pengertian dalam Kompilasi Hukum Islam dimana
berarti mengangkat anak orang lain untuk dijadikan sebagai anak sendiri dan
mempunyai hak yang sama dengan anak kandung. Tetapi pengangkatan anak di Pengadilan Agama lebih
kepada mengambil anak orang lain untuk diasuh dan dididik dengan penuh
perhatian dan kasih sayang tanpa diberikan status anak kandung namun
diperlakukan sebagai anak sendiri.[1]
Sedangkan
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, anak angkat adalah anak orang lain yang
diambil ( dipelihara ) serta disahkan secara hukum sebagai anak sendiri. Dalam
hal ini, pengangkatan anak merupakan suatu cara untuk mengadakan hubungan
antara orang tua dan anak angkat, yang diatur dalam perundang – undangan.
Akibatnya anak yang diangkat dikemudian hari memiliki status sebagai anak yang
sah dengan segala hak dan kewajiban.[2]
Het Staatsblad van Nederlandsch-Indie atau periode transisi disebut Het Staatsblad van Indonesie dengan penyebutan singkat Staatsblad merupakan referensi
pemuatan publikasi dari segala bentuk pengumuman,Ordonantie dan Reglement ( Wikipedia ). Pada periode
kemerdekaan pernah dikenal sebagai Lembaran
Negara Republik Indonesia Serikat akan tetapi, setelah Dekrit Presiden, kembali disebut Lembaran
Negara Republik Indonesia yang
merupakan publikasi berkala dengan ikutan penomoran pemuatan yang berisikan
berbagai informasi yang berkaitan dengan segala bentuk Kebijakan, Pengumuman, Peraturan dan Perundangan yang
dikeluarkan oleh Badan, Lembaga atau Pemerintah berketentuan setelah pencatatan
dan dipublikasikan dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia mempunyai
kekuatan pemaksaan atas pemberlakuan pada keseluruhan wilayah kedaulatan Republik Indonesia.[3]
Undang - undang adalah (1) ketentuan dan peraturan negara yg
dibuat oleh pemerintah (menteri, badan eksekutif, dsb), disahkan oleh parlemen
(Dewan Perwakilan Rakyat, badan legislatif, dsb), ditandatangani oleh kepala
negara (presiden, kepala pemerintah, raja), dan mempunyai kekuatan yg mengikat;
(2) aturan yg dibuat oleh orang atau badan yg berkuasa: taat pd ~ partai; (3)
hukum (dl arti patokan yg bersifat alamiah atau sesuai dng sifat-sifat alam): ~
untuk membangun kalimat dr tiap-tiap bahasa memang berlainan.[4]
Pengadilan Negeri berdasarkan UU
No 2 Tahun 1986 jo UU No 8 Tahun 2004 tentang Peradilan Umum Pasal 4 ayat 1
berbunyi “ Pengadilan Negeri merupakan
sebuah lembaga peradilan di ingkungan Peradilan Umum yang berkedudukan di ibu kota kabupaten atau
kota” yang berfungsi untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara pidana dan perdata bagi rakyat pencari keadilan
pada umumnya. Sedangkan berdasarkan UU No 7 Tahun 1989 jo UU No 3 Tahun
2006 Pasal 4 ayat 1 “Pengadilan agama berkedudukan di ibu kota kabupaten/kota dan daerah hukumnya
meliputi wilayah kabupaten/kota”. Pengadilan agama bertugas dan berwenang
memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara
orang-orang yang beragama Islam di bidang:
a. perkawinan; b. waris; c. wasiat; d. hibah;
e. wakaf; f. zakat; g. infaq;
h.
shadaqah; dan i. ekonomi syari'ah.
Masalah pengangkatan anak diatur dalam
UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, pasal 56 :
1.
Setiap anak berhak untuk dibesarkan,
dipelihara, dirawat, dididik, diarahkan dan dibimbing kehidupannya oleh orang
tua atau walinya sampai dewasa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang –
undangan.
2.
Dalam hal orang tua tidak mampu membesarkan
dan memelihara anaknya dengan baik dan sesuai dengan undang – undang ini maka
anak tersebut boleh diasuh atau diangkat sebagai anak oleh orang lain sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang – undangan.
Akibat
dari adanya Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1997 tentang Gaji Pegawai Negeri
Sipil, yang memungkinkan Pegawai Negeri Sipil untuk mendapatkan tunjangan bagi
anak yang diadopsi melalui penetapan pengadilan, maka mulailah praktik adopsi
dengan ketetapan pengadilan. Sementara itu bagi mereka yang termasuk ke dalam
golongan penduduk keturunan Tionghoa, berlaku peraturan adopsi yang diatur
dalam Staatsblad 1917 No. 129 yang memungkinkan dilakukannya adopsi anak laki –
laki. Akan tetapi, berdasarkan yurisprudensi tetap tahun 1983, Mahkamah Agung
menganggap sah pula adopsi anak perempuan dan adopsi menurut ketentuan
staatsblad 1917 No 129 itu cukup dengan akte notaris saja.
Sejak diundangkannya UU No 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU
No 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama tanggal 20 Maret 2006, Pengadilan Agama
secara yuridis formal baru memiliki kewenangan untuk memeriksa dan mengadili
permohonan pengangkatan anak sesuai dengan hukum islam ( Penjelasan UU No 3
Tahun 2006 angka 37 pasal 49 huruf a nomor 20). Sementara sebelum lahirnya UU
No 3 Tahun 2006 perkara permohonan pengangkatan anak hanya menjadi kewenangan
Pengadilan Negeri
Jika
ditinjau dari hukum perdata, Indonesia di satu sisi membenarkan
anak angkat dalam pengertian adopsi yang sesungguhnya, dimana anak
tersebut memakai marga orang tua angkat dan putus hubungan dengan orang tua
sebenarnya, serta kewarisannya beralih kepada orang tua angkatnya. Hal
demikian, berdasarkan praktik pengadilan, Ketentuan
tentang pengangkatan anak sebagaimana diatur dalam Staatsblad Nomor 129 Tahun
1917 Pasal 5 s.d 15 antara lain:
a. Suami istri atau duda yang
tidak mempunyai anak laki-laki yang sah dalam garis laki-laki baik keturunan
dari kelahiran atau keturunan karena pengangkatan. Orang demikian diperbolehkan mengangkat anak laki-laki sebagai
anaknya;
b. Seorang janda (cerai mati) yang tidak mempunyai anak laki-laki dan tidak
dilarang oleh bekas suaminya dengan suatu wasiyat; (Pasal 5 )
c. Yang boleh diangkat adalah
anak Tionghoa laki-laki yang tidak beristri dan tidak beranak dan tidak sedang
dalam status diangkat oleh orang lain. (Pasal 6)
d. Usia yang diangkat harus
18 tahun lebih muda dari suami dan 15 tahun lebih muda dari istri; (Pasal 7
ayat 1)
e. Adopsi harus dilakukan
atas kata sepakat;
f. Pengangkatan anak harus dilakukan
dengan akta notaris; (Pasal 10)
g. Pengangkatan terhadap anak
perempuan dan pengangkatan dengan cara tidak membuat akta otentik batal demi
hukum ( Pasal 15 ayat 2 ). Di samping itu, adopsi atas tuntutan oleh pihak yang
berkepentingan juga dapat dinyatakan batal;
h. Suatu adopsi tidak dapat dibatalkan dengan kesepakatan para pihak ( Pasal
15 ayat 1 ). Pasal tersebut merupakan penyimpangan dari ketentuan Pasal 1338
ayat 2 KUH Perdata ( BW ) yang menyatakan bahwa suatu perjanjian yang dibuat
secara sah dapat dibatalkan dengan sepakat para pihak yang membuat perjanjian
yang bersangkutan.
i. Secara yuridis formal,
motif tidak ada ketentuannya. Akan tetapi, secara kultural motif pengangkatan
anak dalam sistem adat Tionghoa agar dapat meneruskan keturunan, agar dapat
menerima abu leluhur, dan sebagai pancingan agar dapat memperoleh keturunan
laki-laki.
j. Akibat hukum pengangkatan
anak tersebut, antara lain:
1) Pasal 12 memberikan ketentuan, bahwa adopsi
menyebabkan anak angkat tersebut berkedudukan sama dengan anak sah dari
perkawinan orang tua yang mengangkatnya. Termasuk, jika yang mengangkat anak
tersebut seorang janda, anak angkat (adoptandus) tersebut harus dianggap dari
hasil perkawinan dengan almarhum suaminya.
2) Adopsi menghapus semua
hubungan kekeluargaan dengan keluarga asal, kecuali dalam hal:
a) Penderajatan kekeluargaan
sedarah dan semenda dalam bidang perkawinan;
b) Ketentuan pidana yang
didasarkan atas keturunan;
c) Mengenai perhitungan biaya
perkaradan penyanderaan;
d) Mengenai pembuktian dengan
saksi;
e) Mengenai saksi dalam
pembuatan akta autentik.
3) Oleh karena akibat hukum adopsi menyebabkan
hubungan kekeluargaan dengan keluarga asalnya menjadi hapus, maka hal ini
berakibat juga pada hukum waris, yaitu: anak angkat tidak lagi mewaris dari
keluarga sedarah asalnya, sebaliknya sekarang mewaris dari keluarga ayah dan
ibu yang mengadopsi dirinya.
Karena
pengangkatan anak, terrputus hubungan perdata yang berpangkal pada keturunan
karena kelahiran yaitu antara anak dengan orang tua kandung menurut M. Budiarto.[5] Demikian pula sebaliknya, anak angkat berhak
mendapatkan harta warisan dari orang tua angkatnya, maka orang tua angkatpun
berhak mewarisi anak angkatnya. Hal ini masuk dalam KUHPdt dan tidak berlaku
bagi seluruh bangsa Indonesia tetapi untuk golongan tertentu yaitu Tionghoa (
Cina ).
Sedangkan
Hukum perdata yang diberlakukan untuk orang pribumi diberlakukanlah berdasarkan
Perintah UU No 3 tahun 2006 Tentang perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1989 Tentang
Peradilan Agama dan Akibat Hukumnya, dimana dalam pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006 mengatakan
: “Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara ditingkat pertama anatara orang orang yang beragama Islam
dibidang : a Perkawinan…..”Penjelasa huruf a pasal 49 ini, antara lain,
mengatakan “ yang dimaksud dengan perkawinan adalah hal – hal yang diatur dalam
atau berdasarkan undang – undang mengenai perkawinan yang berlakuyang dilakukan
menurut syari’ah, antara lain…. Penetapan asal usul anak dan penetapan pengangkatan
anak berdasarkan hukum Islam:…”
F. Metode Penulisan
1.
Jenis penelitian
Dalam pembuatan karya ilmiah ini,
penulis menggunakan jenis penelitian hukum normatif, yaitu melalui pendekatan
undang – undang ( statute approach ), dimana dalam penelitian normatif ini peneliti menelaah,
membandingkan atau mencocokan, antara
adopsi dalam staatblad Tahun 1917 No. 129 dengan pengangkatan anak dalam Undang
– undang No 3 Tahun 2006
2. Sumber Bahan Hukum
Sumber Bahan Hukum yang
digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah :
a.
Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer yang digunakan adalah
1)
Peraturan
Perundang-Undangan yaitu :
1)
UU No 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
2)
UU No 7 Tahun 1989 jo UU No 3 Tahun 2006 Tentang Pengadilan
Agama
3)
Staatsblad No 129 Tahun 1917
b.
Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder yang digunakan adalah jurnal – jurnal
yaitu :
1)
Mimbar Hukum No 54 XII 2001, alhikmah dan DITBINBAPERA Islam
1)
Ilyas Abustani, 2001, Kedudukan anak angkat dalam kewarisan
menurut hukum perdata dan Hukum Islam, h.16
c.
Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier yang digunakan adalah:
1)
Kamus Bahasa Indonesia
online
2)
Enskiplopedi
3)
Internet : Badilag.net,
wikipedia.com,
3 Metode Pengumpulan Bahan Hukum
Metode
yang digunakan adalah teknik pengumpulan data, baik secara online yaitu berupa pengumpulan
data- data yang berasal dari situs – situs online ( internet ) dan offline
yaitu dengan mencari bahan hukum yang berasal dari buku – buku, jurnal
tertulis,termasuk juga wawancara tetapi wawancara ini dilakukan bukan untuk
menggali persoalan secara empiris tetapi hanya sebagai penambah dalam bahan
hukum sekunder sehingga terkumpullah data – data baik berupa data hukum primer,
sekunder dan tersier .
4. Analisis Bahan Hukum
Dari keseluruhan data yang diperoleh,
baik dari bahan hukum primer, sekunder dan tersier diolah dengan menggunakan
analisis kualitatif dimana analisis kualitatif ini
merupakan aktivitas
intensive yang memerlukan pengertian yang mendalam, kecerdikan, kreativitas, dan
kepekaan konseptual yang diformulasi dan distandardisasi menurut
pertimbangan-pertimbangan umum. Data yang
yang dikumpulkan telah diklasifikasikan berdasarkan kategori-kategori tertentu
yang sebelumnya telah ditetapkan, dan kemudian dianalisis dengan melakukan
penafsiran atau interpretasi yaitu interprestasi bahasa atau gramatikal,
dimana fungsinya untuk mengetahui makna ketentuan undang-undang dengan
menguraikannya menurut bahasa, susunan kata atau bunyinya.
Daftar Pustaka
Ilyas Abustani, 2001, Kedudukan anak
angkat dalam kewarisan menurut hukum perdata dan Hukum Islam, h.16-24.
Mimbar Hukum No 54 Tahun.XII 2001 – Alhikmah dan DITBINBAPERA Islam
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan
Nasional, 2008, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka
Subekti dan
Tjitrosudibio, 1974, Kitab Undang – Undang Hukum Perdata ( BW ), Jakarta:
Pradnya Paramita.
Kompilasi Hukum Islam tentang Pengertian Pengangkatan Anak
Undang –Undang No7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama
Undang – Undang No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas Undang – Undang
No.7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama
Staatsblad No.129 Tahun 1917 Tentang Adopsi
Undang – Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM
http://www.badilag.net/ diakses Hari Minggu, 9 Desember 2012, pukul 15.00 WIB
http://kamusbahasaindonesia.org/ diakses Hari Minggu, 9 Desember 2012, pukul 15.00 WIB
http://id.wikipedia.org/wiki/Halaman_Utama
diakses Hari Minggu, 9 Desember 2012, pukul 15.00
WIB
[1] http://www.badilag.net/ diakses 9 Desember 2012 pukul 15.00 WIB
[2]
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
(Jakarta: Balai Pustaka, 2008), hlm 586
[3] http://id.wikipedia.org/wiki/Halaman_Utama
diakses 9 Desember
2012 pukul 15.00 WIB
[4] http://kamusbahasaindonesia.org/
diakses 9 Desember pukul 15.00 WIB
[5] M.
Budiarto,op.cit, h.21-22
Tidak ada komentar:
Posting Komentar