BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Perkembangan peradaban dunia semakin sehari seakan-akan berlari menuju
modernisasi. Perkembangan yang selalu membawa perubahan dalam setiap sendi
kehidupan tampak lebih nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan
juga senantiasa mengikuti perkembangan jaman dan bertransformasi dalam
bentuk-bentuk yang semakin canggih dan beranekaragam. Kejahatan dalam bidang
teknologi dan ilmu pengetahuan senantiasa turut mengikutinya. Kejahatan masa
kini memang tidak lagi selalu menggunakan cara-cara lama yang telah
terjadi selama bertahun-tahun seiring dengan perjalanan usia bumi ini. Bisa
kita lihat contohnya seperti, kejahatan dunia maya (cybercrime), tindak
pidana pencucian uang (money laundering), tindak pidana
korupsi dan tindak pidana lainnya.
Salah satu tindak pidana yang menjadi musuh seluruh bangsa di dunia ini.
Sesungguhnya fenomena korupsi sudah ada di masyarakat sejak lama,
tetapi baru menarik perhatian dunia sejak perang dunia kedua berakhir. Dalam
Kogres-kongres PBB mulai dari kedelapan hingga kesebelas menyebutkan dengan
tegas bahwa korupsi itu sangat berbahaya karena akan merusak suatu bangsa, Di Indonesia sendiri
fenomena korupsi ini sudah ada sejak Indonesia belum merdeka. Salah satu bukti
yang menunjukkan bahwa korupsi sudah ada dalam masyarakat Indonesia jaman
penjajahan yaitu dengan adanya tradisi memberikan upeti oleh beberapa golongan
masyarakat kepada penguasa setempat.
Kemudian setelah perang dunia kedua, muncul era baru, gejolak korupsi ini
meningkat di Negara yang sedang berkembang, Negara yang baru memperoleh
kemerdekaan. Memerangi korupsi adalah tugas utama yang harus diselesaikan di
masa reformasi, karena sangat mustahil memberantas kemiskinan, meningkatkan
pelayanan kesehatan atau meningkatkan mutu pendidikan jika korupsi masih
merajalela, karena korupsi adalah sumber bencana dan kejahatan (the roots of
all evils)[1], yang
mengakar keberbagai sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
dimana tidak hanya menjalar pada birokrasi pemerintahan, tetapi juga ke sistem
peradilan di Indonesia. Reimon Aron seorang sosiolog berpendapat bahwa korupsi
dapat mengundang gejolak revolusi, alat yang ampuh untuk mengkreditkan suatu
bangsa. Bukanlah tidak mungkin penyaluran akan timbul apabila penguasa tidak secepatnya
menyelesaikan masalah korupsi. (B. Simanjuntak, S.H., 1981:310)[2]
Di Indonesia sendiri praktik
korupsi sudah sedemikian parah dan akut. Telah banyak gambaran tentang praktik
korupsi yang terekspos ke permukaan. Di negeri ini sendiri, korupsi sudah seperti
sebuah penyakit kanker ganas yang menjalar ke sel-sel organ publik, menjangkit
ke lembaga-lembaga tinggi Negara seperti legislatif, eksekutif dan yudikatif
hingga ke BUMN. Apalagi mengingat di akhir masa orde baru, korupsi hampir kita
temui dimana-mana. Mulai dari pejabat kecil hingga pejabat tinggi.
Walaupun demikian, peraturan
perundang-undangan yang khusus mengatur tentang tindak pidana korupsi sudah
ada. Di Indonesia, undang-undang tentang tindak pidana korupsi sudah beberapa
kali mengalami perubahan gunanya agar para pelaku Tipikor tidak dapat
melepaskan diri dari jeratan hukum. Disamping itu, simbolisasi dari
pemberantasan korupsi di indonesia terlihat dari terbentuknya tim Pemberantasan
Tipikor pada setiap era kepemimpinan nasional mulai dari sukarno hingga masa
SBY saat ini.
Ada tiga hal penting dalam upaya
pencapaian tujuan negara yang bebas dari korupsi, yaitu : adanya peraturan yang
bagus sesuai dengan ideologi bangsa Indonesia, adanya aparat penegak hukum yang
bersih serta kesadaran dari masyarakat itu sendiri. Dimana upaya pemenuhan
ketiga unsur tersebut juga tidak mudah padahal, dibandingkan dengan upaya penal
yang sangat rapuh dan memiliki banyak kelemahan seperti biayanya yang mahal,
sifatnya yang symtom (sementara) dan paradoksal sehingga penerapannya yang
merupakan bagian hukum terkecil dalam sistem kontrol sosial yang besar tidak
bukanlah senjata yang ampuh untuk melawan tindak pidana korupsi saat ini.
Oleh karena itu, berbagai upaya telah ditempuh, baik
untuk mencegah maupun menindak tindak pidana korupsi (tipikor) secara serentak
oleh pemegang kekuasaan eksekutif (melalui Pemerintah Pusat dan pemerintah
daerah/Pemda), legislatif, serta yudikatif.
Itikad
pemberantasan korupsi terdorong ke seluruh Indonesia. Hal itu ditunjukkan dengan
semakin meningkatnya keuangan/aset negara yang terselamatkan pada setiap
tahunnya dalam pencegahan dan penuntasan kasus korupsi. Sejumlah institusi
pelaksana dan pendukung pemberantasan korupsipun terbentuk, antara lain Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK), Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan,
serta Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban.[3]
Presiden
juga telah menerbitkan sejumlah instruksi dan arahan untuk pencegahan dan
pemberantasan korupsi (PPK), misalnya Instruksi Presiden (Inpres) 5/2004 tentang
Percepatan Pemberantasan Korupsi di Indonesia hingga Inpres 17/2011 tentang
Aksi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Tahun 2012 pada Desember
2011.. Selanjutnya dikuatkan dengan Perpres No 55 Tahun 2012 tentang Strategi
Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Jangka Panjang Tahun 2012-2025
dan Jangka Menegah Tahun 2012-2014, dimana kebijakan ini merupakan acuan atau kompas bagi segenap
pemangku kepentingan dalam bergerak ke arah yang sama.
Stranas
PPK diharapkan dapat melanjutkan, mengonsolidasi, dan menyempurnakan apapun
upaya dan kebijakan pemberantasan korupsi agar berdampak signifikan bagi
peningkatan kesejahteraan, keberlangsungan pembangunan, serta
terkonsolidasikannya demokrasi. Stranas PPK juga penting untuk mengarahkan
langkah-langkah pemberantasan korupsi agar ditempuh secara lebih
bertahap-berkesinambungan, baik dalam jangka pendek (tahunan), menengah (hingga
2014), maupun panjang (hingga 2025). Dalam hubungannya dengan dokumen nasional
yang telah ada, Stranas PPK akan ditempatkan sebagai acuan oleh para pihak
dalam menyusun Rencana Aksi Nasional-PPK pada setiap tahunnya. Institusi
terkait (K/L, Pemda, dan insitusi lainnya) dapat merujuk pula pada Stranas PPK
ini dan memakai peranti yang telah disediakan di dalam Stranas PPK untuk
melaksanakan upaya-upayanya dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi.
1.2
Rumusan
Masalah
1. Apa pengertian korupsi?
2. Apa bahaya korupsi?
3. Bagaimana kebijakan pemberantasan korupsi hingga saat ini?
4. Apa strategi pencegahan
dan pemberantasan
korupsi ?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.
Pengertian
Korupsi
a.
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1999 jo
UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG
PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
Pasal 2 Ayat 1
·
Setiap orang yang secara melawan hukum
melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur
hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20
(dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Pasal 3
·
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan,
kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang
dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara
b.
Korupsi atau rasuah (bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere
yang bermakna busuk, rusak,
menggoyahkan, memutarbalik, menyogok) adalah tindakan pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, serta pihak lain yang terlibat dalam
tindakan itu yang secara tidak wajar dan tidak legal
menyalahgunakan kepercayaan publik yang dikuasakan kepada mereka untuk
mendapatkan keuntungan sepihak.
Jenis tindak pidana korupsi di antaranya, adalah:
1.Merugian keuangan dan perekonomian negara;
2.Suap menyuap-gratifikasi;
3.Penggelapan dalam jabatan;
4.Pemalsuan;
5.Pemerasan;
6.Perbuatan curang;
7.Benturan kepentingan dalam pengadaan.
• Menurut Sudarto (1976), korupsi merujuk pada perbuatan
yang rusak, busuk tidak jujur yang dikaitkan dengan keuangan
• Hendry Campbell Black (1991), korupsi sebagai perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk
memberikan suatu keuntungan yang tidak resmi dengan hak – hak dari pihak lain
secara salah menggunakan jabatannya atau karakternya untuk mendapatkan suatu
keuntungan untuk dirinya sendiri atau orang lain, berlawannan dengan
kewajibannya dan hak- hak dari pihak
lain.
2.2.
Bahaya Korupsi
1.
Kongres PBB ke 8/1990 di
Havana dalam laporannya menyatakan hakikat bahaya korupsi, yaitu dapat
menghancurkan efektivitas potensial semua program pemerintah, dapat
mengganggu/menghambat pembangunan dan menimbulkan korban individual dan
kelompok.
2.
Kongres PBB ke-9/1995 di
Kairo disebutkan bahwa korupsi dapat membahayakan stabilitas dan keamanan
masyarakat, merusak nilai-nilai demokrasi dan moralitas, dan membahayakan
pembangunan sosial, ekonomi dan politik.
3.
UN Convention Against
Corruption 2003 diantaranya menyatakan bahwa korupsi adalah ancaman bagi
keamanan dan kestabilan masyarakat, merusak nilai-nilai dan lembaga-lembaga
demokrasi, merusak nilai-nilai moral dan keadilan, membahayakan “pembangunan
yang berkelanjutan” dan “rule of law” dan mengancam stabilitas politik.
4.
Kongres PBB XI tahun
2005 juga menyatakan tentang hakikat bahaya korupsi, yaitu merintangi kemajuan
sosial, ekonomi dan politik, sumber daya masyarakat dialokasikan tidak efisien,
meningkatnya ketidakpercayaan terhadap lembaga-lembaga politik, produktivitas
menurun, efisiensi administratif berkurang, merusak/mengurangi legitimasi
tatanan politik dan mengganggu pembangunan ekonomi yang berakibat pada
ketidakstabilan politik, lemahnya infrastruktur, sistem pendidikan dan
kesehatan dan pelayanan sosial lainnya.
Korupsi juga berdampak terhadap lingkup:
a.
Demokrasi
Korupsi menunjukan tantangan serius terhadap
pembangunan. Di dalam dunia politik, korupsi mempersulit demokrasi
dan tata pemerintahan yang baik (good governance) dengan cara
menghancurkan proses formal. Korupsi di pemilihan umum dan di badan legislatif
mengurangi akuntabilitas dan perwakilan di pembentukan kebijaksanaan; korupsi
di sistem pengadilan menghentikan ketertiban hukum; dan korupsi di pemerintahan
publik menghasilkan ketidak-seimbangan dalam pelayanan masyarakat. Secara umum,
korupsi mengkikis kemampuan institusi dari pemerintah, karena pengabaian
prosedur, penyedotan sumber daya, dan pejabat diangkat atau dinaikan jabatan
bukan karena prestasi. Pada saat yang bersamaan, korupsi mempersulit legitimasi
pemerintahan dan nilai demokrasi seperti kepercayaan dan toleransi.
b.
Ekonomi
Korupsi
juga mempersulit pembangunan ekonomi
dengan membuat distorsi dan ketidak efisienan yang tinggi. Dalam sektor
private, korupsi meningkatkan ongkos niaga karena kerugian dari pembayaran ilegal,
ongkos manajemen dalam negosiasi dengan pejabat korup, dan risiko pembatalan
perjanjian atau karena penyelidikan. Walaupun ada yang menyatakan bahwa korupsi
mengurangi ongkos (niaga) dengan mempermudah birokrasi, konsensus yang baru
muncul berkesimpulan bahwa ketersediaan sogokan menyebabkan pejabat untuk
membuat aturan-aturan baru dan hambatan baru. Dimana korupsi menyebabkan
inflasi ongkos niaga, korupsi juga mengacaukan "lapangan perniagaan".
Perusahaan yang memiliki koneksi dilindungi dari persaingan dan sebagai
hasilnya mempertahankan perusahaan-perusahaan yang tidak efisien.
Korupsi menimbulkan distorsi (kekacauan) di
dalam sektor publik
dengan mengalihkan investasi publik ke proyek-proyek masyarakat yang mana
sogokan dan upah tersedia lebih banyak. Pejabat mungkin menambah kompleksitas
proyek masyarakat untuk menyembunyikan praktek korupsi, yang akhirnya
menghasilkan lebih banyak kekacauan. Korupsi juga mengurangi pemenuhan
syarat-syarat keamanan bangunan, lingkungan hidup, atau aturan-aturan lain.
Korupsi juga mengurangi kualitas pelayanan pemerintahan dan infrastruktur; dan
menambahkan tekanan-tekanan terhadap anggaran pemerintah.
c.
Kesejahteraan
umum negara
Korupsi politis ada di banyak negara, dan
memberikan ancaman besar bagi warga negaranya. Korupsi politis berarti
kebijaksanaan pemerintah
sering menguntungkan pemberi sogok, bukannya rakyat luas.
2.3.
Kebijakan Pemberantasan Tipikor hingga saat ini
Pengaturan hukum pidana terhadap tindak pidana
korupsi di Indonesia ditandai oleh banyaknya peraturan perundang-undangan
tentang tipikor yang telah mengalami beberapa kali perubahan. Peraturan –
peraturan itu adalah sebagai berikut:
1. Peraturan Penguasa
Militer No. PRT/PM/06/1957 tentang Pemberantasan Korupsi
2. Pengaturan Penguasa
Perang Pusat Angkatan Darat No.PRT/PEPERPU/013/1958 tentang Pengusutan,
Penuntutan, dan Pemeriksaan Perbuatan Korupsi dan Pemilikan Harta Benda
3. Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang –Undang (Perppu) No.24 Tahun 1940 tentang Pengusutan,
Penuntutan, dan Pemeriksaan Perbuatan Korupsi
4. Undang –Undang No.1
Tahun 1961 tentang Penetapan Perppu No.24 Tahun 1940 tentang Pengusutan,
Penuntutan, dan Pemeriksaan Perbuatan Korupsi menjadi Undang-Undang
5. Keputusan Presiden No.
228 Tahun 1967 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
6. Undang-Undang No. 3
Tahun1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
7. Undang-Undang No. 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
8. Undang –Undang No.20
Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Selain itu, pemerintah juga telah menerbitkan
Undang-Undang No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (KPK) dan Undang-Undnag No. 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Tindak
Pidana Korupsi.
Tujuan Pemerintah mebuat Undang –Undang merevisi
atau mengganti Produk legislasi tersebut dilatarbelakangi oleh keinginan kuat
untuk mendorong institusi yang berwenang dalam pemberantasan tipikor agar dapat
menjangkau berbagai modus operandi
Tipikor dan memalisir celah – celah hukum, yang dapat dijadikan alasan bagi
pelaku tipikor untuk dapat melepaskan diri dari jeratan hukum menurut Charudin.[4]
Kebijakan
Antikorupsi dari Soekarno hingga SBY
Disamping
ditandai oleh keberadaan berbagai peraturan perundang-undangan, semangat
pemberantasan tipikor di Indonesia disimbolisir juga oleh terbentuknya “Tim
Pemberantasan Tipikor” pada setiap era kepemimpinan nasional di Indonesia
a. Era Pemerintahan
Soekarno (1945-1966)
Muncul Gerakan Antikorupsi, dipimpin oleh Kolonel
zulkifli yang seorang wakil staf AD yang bekerjasama dengan Jaksa Agung
Suprapto serta melibatkan pemuda – pemuda mantan tentara pelajar. Membentuk
“pasukan khusus” berdasarkan Peraturan Penguasa Militer No. PRT/PM/06/1957
tentang Pemberantasan Korupsi karena aparat hukum tidak berjalan dan tidak
berfungsi sehingga perlunya kampanye antikorupsi, memberantas orang-orang yang
dianggap tak tersentuh dan kebal hukum, baik dari kalangan politisi, pengusaha,
maupun pejabat.
Kemudian dikeluarkannya Pengaturan Penguasa Perang
Pusat Angkatan Darat No.PRT/PEPERPU/013/1958 tentang Pengusutan, Penuntutan,
dan Pemeriksaan Perbuatan Korupsi dan Pemilikan Harta Benda, selanjutnya Pemerintah
dan DPR GR menerbitkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1961 tentang penetapan perpu sebelumnya.
b. Era Pemerintahan
Soeharto (1967-1998)
Kebijakan dan gerakan pemberantasan Tipikor pada masa
pemerintahan suharto dibagi menjadi beberapa periode yaitu :
1. Periode 1967
2. Periode 1970
3. Periode 1971
4. Periode 1977
5. Periode 1980
6. Periode 1982
c. Era Pemerintahan B.J
Habibie (1998-1999)
1. Periode 1998
Pemerintahan pertamapasca reformasi yang dippimpin B.J.
Habibie memotori upaya pemberantasan korupsi dengan menerbitkan setidaknya dua
peraturan perundang-undangan bernuansa pemberantasan Tipikor yaitu:
a) Tap MPR RI
No.XI/MPR/1998 tentang Pemerintah yang bersih dan Bebas dari KKN, dihasilkan
dalam sidang umum MPR 1998
b) Undang-Undang No.28
Tahun1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bebas dari KKN, dihasilkan oleh
Pemerintah dan DPR
2. Periode 1999
Diterbitkannya Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasantipikor sebagai penyempurnaan dari Undang-Undang No 3 Tahun 1971,
dimana Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 mengamanatkan pembentukan KPK
d. Era Pemerintahan
Abdurrahman Wahid (1999-2001)
Pada masa kepemimpinannya ada sejumlah peraturan yang
dikeluarkan berkaitan dengan Tipikor, seperti Surat Keputusan presiden No. 127
Tahun 1999 dasar pembentukan KPKPN, kemuadian ada SK Presiden No 44 Tahun 2000
Tentang Komisi Ombudsman, selanjutnya ada Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun
2000 yang merupakan cikal baakal pembentukan
KPK
e. Era Pemerintahan
Megawati soekarnoputri (2001-2004)
Pada era Megawati direvisilah Undang-Undang No 31 Tahun
1999 menjadi Undang-Undang No 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tipikor,
mengesahkan lima pimpinan KPK hasil pilihan komisi hukum dan DPR dll
f. Era Pemerintahan Susilo
Bambang Yudhoyono (2004-2009)
Semangat memberantas Korupsi pemerintahan Presiden SBY,
diawal pemerintahannya diperkuat dengan menerbitkansejumlahh undang-undang
serta keputusan/instruksi khusus presiden berkaitan dengan upaya pemberantasan
korupsi serta tidak ketinggalan membentuk tim khusus
g. Era Pemerintahan Susilo
Bambang Yudhoyono (2009- sekarang)
1. Membentuk UPK3R yang merupakan
Satuan Kerja Presiden untuk Percepatan Program Reformasi dipimpin oleh koentoro mangkusubroto
2. Membentuk Satuan Tugas
Pemberantasan Mafia Hukum
3. Pemerintah dan DPR
menerbitkan UU No 3 Tahun 2009 tentang
Mahkamah Agung
4. Menerbitkan UU No 5
Tahun 2009 tentang Pengesahan United
Nations Conventions against Transnational Organized Crime (konfensi PBB
Menentang Kejahatan Transnasional yang Terorganisasi)
5. Menerbitkan UU No. 25
Tahun 2009 tentang Pelayanan publik
6. Menerbitkan UU No. 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
7. Menerbitkan UU No 49
Tahun 2009 tentang Pengadilan Tipikor
2.4.
Strategi Pencegahan dan Pemberantasan Tipikor
Di dalam Perpres Nomor 55 Tahun 2012 menyatakan bahwa
strategi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi (PPK) memiliki visi jangka
panjang dan menengah. Visi periode jangka panjang (2012-2025) adalah:
“terwujudnya kehidupan bangsa yang bersih dari korupsi dengan didukung nilai
budaya yang berintegritas”. Adapun untuk jangka menengah (2012-2014) bervisi
“terwujudnya tata kepemerintahan yang bersih dari korupsi dengan didukung
kapasitas pencegahan dan penindakan serta nilai budaya yang berintegritas”.
Visi jangka panjang dan menengah itu akan diwujudkan di segenap ranah, baik di
pemerintahan dalam arti luas, masyarakat sipil, hingga dunia usaha. Untuk
mencapai visi tersebut, maka dirancang 6 strategi yaitu:
1.
Pencegahan.
Korupsi masih
terjadi secara masif dan sistematis. Praktiknya bisa berlangsung dimanapun, di
lembaga negara, lembaga privat, hingga di kehidupan sehari-hari. Melihat
kondisi seperti itu, maka pencegahan menjadi layak didudukkan sebagai strategi
perdananya. Melalui strategi pencegahan, diharapkan muncul langkah
berkesinambungan yang berkontribusi bagi perbaikan ke depan. Strategi ini
merupakan jawaban atas pendekatan yang lebih terfokus pada pendekatan represif.
Paradigma dengan pendekatan represif yang berkembang karena diyakini dapat
memberikan efek jera terhadap pelaku tindak pidana korupsi (tipikor).
Sayangnya, pendekatan represif ini masih belum mampu mengurangi perilaku dan
praktik koruptif secara sistematis-massif. Keberhasilan strategi pencegahan
diukur berdasarkan peningkatan nilai Indeks Pencegahan Korupsi, yang
hitungannya diperoleh dari dua sub indikator yaitu Control of Corruption Index
dan peringkat kemudahan berusaha (ease of doing business) yang dikeluarkan oleh
World Bank. Semakin tinggi angka indeks yang diperoleh, maka diyakini strategi pencegahan
korupsi berjalan semakin baik.
2.
Penegakan Hukum.
Masih banyak
kasus korupsi yang belum tuntas, padahal animo dan ekspektasi masyarakat sudah
tersedot sedemikian rupa hingga menanti-nanti adanya penyelesaian secara adil
dan transparan. Penegakan hukum yang inkonsisten terhadap hukum positif dan
prosesnya tidak transparan, pada akhirnya, berpengaruh pada tingkat kepercayaan
(trust) masyarakat
terhadap hukum dan aparaturnya. Dalam tingkat kepercayaan yang lemah,
masyarakat tergiring ke arah opini bahwa hukum tidak lagi dipercayai sebagai
wadah penyelesaian konflik. Masyarakat cenderung menyelesaikan konflik dan
permasalahan mereka melalui caranya sendiri yang, celakanya, acap berseberangan
dengan hukum.
Belum lagi jika ada pihak-pihak lain yang memanfaatkan
inkonsistensi penegakan hukum demi kepentingannya sendiri, keadaaan bisa makin
runyam. Absennya kepercayaan di tengah-tengah masyarakat, tak ayal, menumbuhkan
rasa tidak puas dan tidak adil terhadap lembaga hukum beserta aparaturnya. Pada
suatu tempo, manakala ada upaya-upaya perbaikan dalam rangka penegakan hukum di
Indonesia, maka hal seperti ini akan menjadi hambatan tersendiri. Untuk itu,
penyelesaian kasus-kasus korupsi yang menarik perhatian masyarakat mutlak perlu
dipercepat. Tingkat keberhasilan strategi penegakan hukum ini diukur
berdasarkan Indeks Penegakan Hukum Tipikor yang diperoleh dari persentase
penyelesaian setiap tahapan dalam proses penegakan hukum terkait kasus Tipikor,
mulai dari tahap penyelesaian pengaduan Tipikor hingga penyelesaian eksekusi
putusan Tipikor. Semakin tinggi angka Indeks Penegakan Hukum Tipikor, maka
diyakini strategi Penegakan Hukum berjalan semakin baik.
3.
Harmonisasi Peraturan
Perundang-undangan.
Meratifikasi
UNCAC, adalah bukti konsistensi dari komitmen Pemerintah Indonesia untuk
mempercepat pemberantasan korupsi. Sebagai konsekuensinya, klausul-klausul di
dalam UNCAC harus dapat diterapkan dan mengikat sebagai ketentuan hukum di
Indonesia. Beberapa klausul ada yang merupakan hal baru, sehingga perlu
diatur/diakomodasi lebih-lanjut dalam regulasi terkait pemberantasan korupsi
selain juga merevisi ketentuan di dalam regulasi yang masih tumpang-tindih
menjadi prioritas dalam strategi ini. Tingkat keberhasilan strategi ini diukur
berdasarkan persentase kesesuaian regulasi anti korupsi Indonesia dengan
klausul UNCAC. Semakin mendekati seratus persen, maka peraturan
perundang-undangan terkait pencegahan dan pemberantasan korupsi di Indonesia
semakin lengkap dan sesuai dengan common practice yang terdapat pada
negara-negara lain.
4.
Kerjasama Internasional dan
Penyelamatan Aset Hasil Tipikor.
Berkenaan
dengan upaya pengembalian aset hasil tipikor, baik di dalam maupun luar negeri,
perlu diwujudkan suatu mekanisme pencegahan dan pengembalian aset secara
langsung sebagaimana ketentuan UNCAC. Peraturan perundang-undangan
Indonesia belum mengatur pelaksanaan dari putusan penyitaan (perampasan) dari
negara lain, lebih-lebih terhadap perampasan aset yang dilakukan tanpa adanya
putusan pengadilan dari suatu kasus korupsi (confiscation without a criminal
conviction). Penyelamatan aset perlu didukung oleh pengelolaan aset negara yang
dilembagakan secara profesional agar kekayaan negara dari aset hasil tipikor
dapat dikembalikan kepada negara secara optimal. Keberhasilan strategi ini
diukur dari persentase pengembalian aset hasil tipikor ke kas negara
berdasarkan putusan pengadilan dan persentase tingkat keberhasilan (success
rate) kerjasama internasional terkait pelaksanaan permintaan dan penerimaan
permintaan Mutual Legal Assistance (MLA) dan Ekstradisi. Semakin tinggi
pengembalian aset ke kas negara dan keberhasilan kerjasama internasional,
khususnya dibidang tipikor, maka strategi ini diyakini berjalan dengan baik.
5.
Pendidikan dan Budaya
Antikorupsi.
Praktik-praktik
korupsi yang kian masif memerlukan itikad kolaboratif dari Pemerintah beserta
segenap pemangku kepentingan. Wujudnya, bisa berupa upaya menanamkan nilai
budaya integritas yang dilaksanakan secara kolektif dan sistematis, baik
melalui aktivitas pendidikan anti korupsi dan internalisasi budaya anti korupsi
di lingkungan publik maupun swasta. Dengan kesamaan cara pandang pada setiap
individu di seluruh Indonesia bahwa korupsi itu jahat, dan pada akhirnya para
individu tersebut berperilaku aktif mendorong terwujudnya tata-kepemerintahan
yang bersih dari korupsi diharapkan menumbuhkan prakarsa-prakarsa positif bagi
upaya PPK pada khususnya, serta perbaikan tata-kepemerintahan pada umumnya.
Tingkat keberhasilan strategi ini diukur berdasarkan Indeks Perilaku
Antikorupsi yang ada dikalangan tata-kepemerintahan maupun individu di seluruh
Indonesia. Semakin tinggi angka indeks ini, maka diyakini nilai budaya anti
korupsi semakin terinternalisasi dan mewujud dalam perilaku nyata setiap
individu untuk memerangi tipikor.
6.
Mekanisme Pelaporan Pelaksanaan
Pemberantasan Korupsi.
Strategi yang
mengedepankan penguatan mekanisme di internal Kementerian/Lembaga,
swasta, dan masyarakat, tentu akan memperlancar aliran data/informasi terkait
progres pelaksanaan ketentuan UNCAC. Konsolidasi dan publikasi Informasi di
berbagai media, baik elektronik maupun cetak, termasuk webportal PPK, akan
mempermudah pengaksesan dan pemanfaatannya dalam penyusunan kebijakan dan
pengukuran kinerja PPK. Keterbukaan dalam pelaporan kegiatan PPK akan
memudahkan para pemangku kepentingan berpartisipasi aktif mengawal segenap
upaya yang dilakukan oleh pemerintah, lembaga publik maupun sektor swasta.
Keberhasilannya diukur berdasarkan indeks tingkat kepuasan pemangku kepentingan
terhadap laporan PPK. Semakin tinggi tingkat kepuasan pemangku kepentingan, maka
harapannya, semua kebutuhan informasi dan pelaporan terkait proses penyusunan
kebijakan dan penilaian progres PPK dapat semakin terpenuhi sehingga upaya PPK
dapat dikawal secara berkesinambungan dan tepat sasaran.[5]
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Korupsi berasal dari
bahasa latin corruptio atau corrumpere, yang dikenal dengan korupsi
di Indonesia. Tindak Pidana Korupsi dikatagorikan sebagai extaraordinanry crime karena dampak yang ditimbulkannya memang luar
biasa. Sebab, Tipikor yang selama ini terjadi secara sistematik dan meluas,
tidak hanya merugikan keuangan negara, menggangu stabilitas dan keamanan
masyarakat, serta melemahkan nilai- nilai demokrasi, etika, keadilan dan
kepastian hukum sehingga dapat membahayakan kelangsungan pembangunan, tetapi
juga telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas.
Sehingga pemberantasannya haruslah dengan cara yang luar biasa pula .
Memerangi
korupsi adalah tugas utama yang harus diselesaikan di masa reformasi, karena sangat
mustahil memberantas kemiskinan, meningkatkan pelayanan kesehatan atau
meningkatkan mutu pendidikan jika korupsi masih merajalela, karena korupsi
adalah sumber bencana dan kejahatan (the roots of all evils)[6], yang
mengakar keberbagai sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
dimana tidak hanya menjalar pada birokrasi pemerintahan, tetapi juga ke sistem
peradilan di Indonesia.
Upaya yang lebih efektif untuk
diterapkan mulaii dari sekarang adalah dengan cara non penal artinya dengan
menanamkan kesadaran atau menggunakan pendekatan keilmuan dan berdasarkan hati
nurani pada setiap individu seperti rasa nasionalisme yang pada akhirnya akan
memberikan dampak yang besar terhadap upaya pemberantasan korupsi, bukan dengan
upaya penal yang sangat rapuh dan memiliki banyak kelemahan seperti biayanya
yang mahal, sifatnya yang symtom (sementara) dan paradoksal sehingga
penerapannya yang merupakan bagian hukum terkecil dalam sistem kontrol sosial
yang besar tidak bukanlah senjata yang ampuh untuk melawan tindak pidana
korupsi saat ini. Oleh karena itu sebagai wujud keseriusan pemerintah dalam memberantas
korupsi dikeluarkanlah Perpres No 55 Tahun 2012 tentang Strategi
Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Jangka Panjang Tahun 2012-2025
dan Jangka Menegah Tahun 2012-2014 agar menjadi pedoman bagi segenap pemangku
kepentingan dalam bergerak ke arah yang sama. Adapun 6 strategi tersebut adalah pencegahan, penegakan hokum, harmonisasi
peraturan perundang-undangan, kerjasama internasional dan penyelamatan asset hasil
tipikor, pendidikan dan budaya anti korupsi dan mekanisme pelaporan pelaksanaan
pemberantasan korupsi.
Daftar
pustaka
Aziz
Syamsuddin, 2011, Tindak Pidana Khusus, Jakarta: Sinar Grafika
http://agusthutabarat.wordpress.com/2009/11/06/tindak-pidana-korupsi-di-indonesia-tinjauan-uu-no-31-tahun-1999-jo-uu-no-20-tahun-2001-tentang-pemberantasan-tindak-pidana-korupsi/ Diakses
11 November 2013 pukul 22.15 WIB
http://4iral0tus.blogspot.com/2010/12/sistem-pemberantasan-dan-penegakan.html Diakses
10 November 2013 pukul 14.00
http://www.ubb.ac.id/menulengkap.php?judul=BAHAYA%20KORUPSI%20DAN%20INTEGRITAS%20PENEGAK%20HUKUM&&nomorurut_artikel=398 Diakses 10 November 2013 pukul 14.00
http://www.unodc.org/documents/southeastasiaandpacific//2011/02/1st-talk-series/presentation_Corruption_Prof_Rudi_Satrio.pdf Diakses 10 November 2013 pukul 14.00
http://riau.kemenag.go.id/file/file/produkhukum/lgkf1360853450.pdf Diakses 10 November 2013 pukul 14.00
http://acch.kpk.go.id/6-strategi-pencegahan-dan-pemberantasan-korupsi
Diakses 15 Desember 2013 Pukul 10.00 WIB
http://acch.kpk.go.id/documents/10157/34337/Dok+Stranas+PPK+2012-2025.pdf
Diakses 15 Desember 2013 Pukul 11.00 WIB
[1]
Aziz Syamsuddin, 2011, Tindak Pidana
Khusus, Jakarta: Sinar Grafika, hal.175
[3]http://acch.kpk.go.id/documents/10157/34337/Dok+Stranas+PPK+2012-2025.pdf
Diakses 15 Desember 2013 Pukul 11.00 WIB
[4]Aziz Syamsuddin, 2011, Tindak Pidana
Khusus, Jakarta: Sinar Grafika, hal.182
[5]http://acch.kpk.go.id/6-strategi-pencegahan-dan-pemberantasan-korupsi
Diakses 15 Desember 2013 Pukul 10.00 WIB
[6]
Aziz Syamsuddin, 2011, Tindak Pidana
Khusus, Jakarta: Sinar Grafika, hal.175