Sabtu, 14 Desember 2013

Makalah Tipikor (Starnas-PPK)


BAB I
PENDAHULUAN

1.1         Latar Belakang

Perkembangan peradaban dunia semakin sehari seakan-akan berlari menuju modernisasi. Perkembangan yang selalu membawa perubahan dalam setiap sendi kehidupan tampak lebih nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan jaman dan bertransformasi dalam bentuk-bentuk yang semakin canggih dan beranekaragam. Kejahatan dalam bidang teknologi dan ilmu pengetahuan senantiasa turut mengikutinya. Kejahatan masa kini memang tidak lagi selalu menggunakan cara-cara lama yang telah terjadi selama bertahun-tahun seiring dengan perjalanan usia bumi ini. Bisa kita lihat contohnya seperti, kejahatan dunia maya (cybercrime), tindak pidana pencucian uang (money laundering), tindak pidana korupsi dan tindak pidana lainnya.
Salah satu tindak pidana yang menjadi musuh seluruh bangsa di dunia ini. Sesungguhnya fenomena korupsi sudah ada di masyarakat sejak lama, tetapi baru menarik perhatian dunia sejak perang dunia kedua berakhir. Dalam Kogres-kongres PBB mulai dari kedelapan hingga kesebelas menyebutkan dengan tegas bahwa korupsi itu sangat berbahaya karena akan merusak suatu bangsa, Di Indonesia sendiri fenomena korupsi ini sudah ada sejak Indonesia belum merdeka. Salah satu bukti yang menunjukkan bahwa korupsi sudah ada dalam masyarakat Indonesia jaman penjajahan yaitu dengan adanya tradisi memberikan upeti oleh beberapa golongan masyarakat kepada penguasa setempat.
Kemudian setelah perang dunia kedua, muncul era baru, gejolak korupsi ini meningkat di Negara yang sedang berkembang, Negara yang baru memperoleh kemerdekaan. Memerangi korupsi adalah tugas utama yang harus diselesaikan di masa reformasi, karena sangat mustahil memberantas kemiskinan, meningkatkan pelayanan kesehatan atau meningkatkan mutu pendidikan jika korupsi masih merajalela, karena korupsi adalah sumber bencana dan kejahatan (the roots of all evils)[1], yang mengakar keberbagai sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dimana tidak hanya menjalar pada birokrasi pemerintahan, tetapi juga ke sistem peradilan di Indonesia. Reimon Aron seorang sosiolog berpendapat bahwa korupsi dapat mengundang gejolak revolusi, alat yang ampuh untuk mengkreditkan suatu bangsa. Bukanlah tidak mungkin penyaluran akan timbul apabila penguasa tidak secepatnya menyelesaikan masalah korupsi. (B. Simanjuntak, S.H., 1981:310)[2]
Di Indonesia sendiri praktik korupsi sudah sedemikian parah dan akut. Telah banyak gambaran tentang praktik korupsi yang terekspos ke permukaan. Di negeri ini sendiri, korupsi sudah seperti sebuah penyakit kanker ganas yang menjalar ke sel-sel organ publik, menjangkit ke lembaga-lembaga tinggi Negara seperti legislatif, eksekutif dan yudikatif hingga ke BUMN. Apalagi mengingat di akhir masa orde baru, korupsi hampir kita temui dimana-mana. Mulai dari pejabat kecil hingga pejabat tinggi.
Walaupun demikian, peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur tentang tindak pidana korupsi sudah ada. Di Indonesia, undang-undang tentang tindak pidana korupsi sudah beberapa kali mengalami perubahan gunanya agar para pelaku Tipikor tidak dapat melepaskan diri dari jeratan hukum. Disamping itu, simbolisasi dari pemberantasan korupsi di indonesia terlihat dari terbentuknya tim Pemberantasan Tipikor pada setiap era kepemimpinan nasional mulai dari sukarno hingga masa SBY saat ini.
Ada tiga hal penting dalam upaya pencapaian tujuan negara yang bebas dari korupsi, yaitu : adanya peraturan yang bagus sesuai dengan ideologi bangsa Indonesia, adanya aparat penegak hukum yang bersih serta kesadaran dari masyarakat itu sendiri. Dimana upaya pemenuhan ketiga unsur tersebut juga tidak mudah padahal, dibandingkan dengan upaya penal yang sangat rapuh dan memiliki banyak kelemahan seperti biayanya yang mahal, sifatnya yang symtom (sementara) dan paradoksal sehingga penerapannya yang merupakan bagian hukum terkecil dalam sistem kontrol sosial yang besar tidak bukanlah senjata yang ampuh untuk melawan tindak pidana korupsi saat ini.  
Oleh karena itu, berbagai upaya telah ditempuh, baik untuk mencegah maupun menindak tindak pidana korupsi (tipikor) secara serentak oleh pemegang kekuasaan eksekutif (melalui Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah/Pemda), legislatif, serta yudikatif.
Itikad pemberantasan korupsi terdorong ke seluruh Indonesia. Hal itu ditunjukkan dengan semakin meningkatnya keuangan/aset negara yang terselamatkan pada setiap tahunnya dalam pencegahan dan penuntasan kasus korupsi. Sejumlah institusi pelaksana dan pendukung pemberantasan korupsipun terbentuk, antara lain Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, serta Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban.[3]
Presiden juga telah menerbitkan sejumlah instruksi dan arahan untuk pencegahan dan pemberantasan korupsi (PPK), misalnya Instruksi Presiden (Inpres) 5/2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi di Indonesia hingga Inpres 17/2011 tentang Aksi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Tahun 2012 pada Desember 2011.. Selanjutnya dikuatkan dengan Perpres No 55 Tahun 2012 tentang Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Jangka Panjang Tahun 2012-2025 dan Jangka Menegah Tahun 2012-2014, dimana kebijakan  ini merupakan acuan atau kompas bagi segenap pemangku kepentingan dalam bergerak ke arah yang sama.
Stranas PPK diharapkan dapat melanjutkan, mengonsolidasi, dan menyempurnakan apapun upaya dan kebijakan pemberantasan korupsi agar berdampak signifikan bagi peningkatan kesejahteraan, keberlangsungan pembangunan, serta terkonsolidasikannya demokrasi. Stranas PPK juga penting untuk mengarahkan langkah-langkah pemberantasan korupsi agar ditempuh secara lebih bertahap-berkesinambungan, baik dalam jangka pendek (tahunan), menengah (hingga 2014), maupun panjang (hingga 2025). Dalam hubungannya dengan dokumen nasional yang telah ada, Stranas PPK akan ditempatkan sebagai acuan oleh para pihak dalam menyusun Rencana Aksi Nasional-PPK pada setiap tahunnya. Institusi terkait (K/L, Pemda, dan insitusi lainnya) dapat merujuk pula pada Stranas PPK ini dan memakai peranti yang telah disediakan di dalam Stranas PPK untuk melaksanakan upaya-upayanya dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi.
1.2         Rumusan Masalah
1.    Apa pengertian korupsi?
2.    Apa bahaya korupsi?
3.    Bagaimana kebijakan pemberantasan korupsi hingga saat ini?
4.    Apa strategi pencegahan dan pemberantasan korupsi ?

  
BAB II
PEMBAHASAN


2.1.        Pengertian Korupsi
a.    UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1999 jo UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG  PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

Pasal 2 Ayat 1
·         Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Pasal 3
·         Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara
b.    Korupsi atau rasuah (bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok) adalah tindakan pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, serta pihak lain yang terlibat dalam tindakan itu yang secara tidak wajar dan tidak legal menyalahgunakan kepercayaan publik yang dikuasakan kepada mereka untuk mendapatkan keuntungan sepihak.
Jenis tindak pidana korupsi di antaranya, adalah:
1.Merugian keuangan dan perekonomian negara;
2.Suap menyuap-gratifikasi;
3.Penggelapan dalam jabatan;
4.Pemalsuan;
5.Pemerasan;
6.Perbuatan curang;
7.Benturan kepentingan dalam pengadaan.
      Menurut Sudarto (1976), korupsi merujuk pada perbuatan yang rusak, busuk tidak jujur yang dikaitkan dengan keuangan
      Hendry Campbell Black (1991), korupsi sebagai  perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak resmi dengan hak – hak dari pihak lain secara salah menggunakan jabatannya atau karakternya untuk mendapatkan suatu keuntungan untuk dirinya sendiri atau orang lain, berlawannan dengan kewajibannya dan hak- hak dari pihak  lain.

2.2.        Bahaya Korupsi
1.    Kongres PBB ke 8/1990 di Havana dalam laporannya menyatakan hakikat bahaya korupsi, yaitu dapat menghancurkan efektivitas potensial semua program pemerintah, dapat mengganggu/menghambat pembangunan dan menimbulkan korban individual dan kelompok.
2.    Kongres PBB ke-9/1995 di Kairo disebutkan bahwa korupsi dapat membahayakan stabilitas dan keamanan masyarakat, merusak nilai-nilai demokrasi dan moralitas, dan membahayakan pembangunan sosial, ekonomi dan politik.
3.    UN Convention Against Corruption 2003 diantaranya menyatakan bahwa korupsi adalah ancaman bagi keamanan dan kestabilan masyarakat, merusak nilai-nilai dan lembaga-lembaga demokrasi, merusak nilai-nilai moral dan keadilan, membahayakan “pembangunan yang berkelanjutan” dan “rule of law” dan mengancam stabilitas politik.
4.    Kongres PBB XI tahun 2005 juga menyatakan tentang hakikat bahaya korupsi, yaitu merintangi kemajuan sosial, ekonomi dan politik, sumber daya masyarakat dialokasikan tidak efisien, meningkatnya ketidakpercayaan terhadap lembaga-lembaga politik, produktivitas menurun, efisiensi administratif berkurang, merusak/mengurangi legitimasi tatanan politik dan mengganggu pembangunan ekonomi yang berakibat pada ketidakstabilan politik, lemahnya infrastruktur, sistem pendidikan dan kesehatan dan pelayanan sosial lainnya.
Korupsi juga berdampak terhadap lingkup:
a.    Demokrasi
Korupsi menunjukan tantangan serius terhadap pembangunan. Di dalam dunia politik, korupsi mempersulit demokrasi dan tata pemerintahan yang baik (good governance) dengan cara menghancurkan proses formal. Korupsi di pemilihan umum dan di badan legislatif mengurangi akuntabilitas dan perwakilan di pembentukan kebijaksanaan; korupsi di sistem pengadilan menghentikan ketertiban hukum; dan korupsi di pemerintahan publik menghasilkan ketidak-seimbangan dalam pelayanan masyarakat. Secara umum, korupsi mengkikis kemampuan institusi dari pemerintah, karena pengabaian prosedur, penyedotan sumber daya, dan pejabat diangkat atau dinaikan jabatan bukan karena prestasi. Pada saat yang bersamaan, korupsi mempersulit legitimasi pemerintahan dan nilai demokrasi seperti kepercayaan dan toleransi.
b.    Ekonomi
Korupsi juga mempersulit pembangunan ekonomi dengan membuat distorsi dan ketidak efisienan yang tinggi. Dalam sektor private, korupsi meningkatkan ongkos niaga karena kerugian dari pembayaran ilegal, ongkos manajemen dalam negosiasi dengan pejabat korup, dan risiko pembatalan perjanjian atau karena penyelidikan. Walaupun ada yang menyatakan bahwa korupsi mengurangi ongkos (niaga) dengan mempermudah birokrasi, konsensus yang baru muncul berkesimpulan bahwa ketersediaan sogokan menyebabkan pejabat untuk membuat aturan-aturan baru dan hambatan baru. Dimana korupsi menyebabkan inflasi ongkos niaga, korupsi juga mengacaukan "lapangan perniagaan". Perusahaan yang memiliki koneksi dilindungi dari persaingan dan sebagai hasilnya mempertahankan perusahaan-perusahaan yang tidak efisien.
Korupsi menimbulkan distorsi (kekacauan) di dalam sektor publik dengan mengalihkan investasi publik ke proyek-proyek masyarakat yang mana sogokan dan upah tersedia lebih banyak. Pejabat mungkin menambah kompleksitas proyek masyarakat untuk menyembunyikan praktek korupsi, yang akhirnya menghasilkan lebih banyak kekacauan. Korupsi juga mengurangi pemenuhan syarat-syarat keamanan bangunan, lingkungan hidup, atau aturan-aturan lain. Korupsi juga mengurangi kualitas pelayanan pemerintahan dan infrastruktur; dan menambahkan tekanan-tekanan terhadap anggaran pemerintah.

c.    Kesejahteraan umum negara

Korupsi politis ada di banyak negara, dan memberikan ancaman besar bagi warga negaranya. Korupsi politis berarti kebijaksanaan pemerintah sering menguntungkan pemberi sogok, bukannya rakyat luas.
2.3.        Kebijakan Pemberantasan Tipikor hingga saat ini
Pengaturan hukum pidana terhadap tindak pidana korupsi di Indonesia ditandai oleh banyaknya peraturan perundang-undangan tentang tipikor yang telah mengalami beberapa kali perubahan. Peraturan – peraturan itu adalah sebagai berikut:
1.    Peraturan Penguasa Militer No. PRT/PM/06/1957 tentang Pemberantasan Korupsi
2.    Pengaturan Penguasa Perang Pusat Angkatan Darat No.PRT/PEPERPU/013/1958 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Perbuatan Korupsi dan Pemilikan Harta Benda
3.    Peraturan Pemerintah Pengganti Undang –Undang (Perppu) No.24 Tahun 1940 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Perbuatan Korupsi
4.    Undang –Undang No.1 Tahun 1961 tentang Penetapan Perppu No.24 Tahun 1940 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Perbuatan Korupsi menjadi Undang-Undang
5.    Keputusan Presiden No. 228 Tahun 1967 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
6.    Undang-Undang No. 3 Tahun1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
7.    Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
8.    Undang –Undang No.20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Selain itu, pemerintah juga telah menerbitkan Undang-Undang No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) dan Undang-Undnag No. 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Tindak Pidana Korupsi.
Tujuan Pemerintah mebuat Undang –Undang merevisi atau mengganti Produk legislasi tersebut dilatarbelakangi oleh keinginan kuat untuk mendorong institusi yang berwenang dalam pemberantasan tipikor agar dapat menjangkau berbagai modus operandi Tipikor dan memalisir celah – celah hukum, yang dapat dijadikan alasan bagi pelaku tipikor untuk dapat melepaskan diri dari jeratan hukum menurut Charudin.[4]

            Kebijakan Antikorupsi dari Soekarno hingga SBY
                        Disamping ditandai oleh keberadaan berbagai peraturan perundang-undangan, semangat pemberantasan tipikor di Indonesia disimbolisir juga oleh terbentuknya “Tim Pemberantasan Tipikor” pada setiap era kepemimpinan nasional di Indonesia
a.    Era Pemerintahan Soekarno (1945-1966)
Muncul Gerakan Antikorupsi, dipimpin oleh Kolonel zulkifli yang seorang wakil staf AD yang bekerjasama dengan Jaksa Agung Suprapto serta melibatkan pemuda – pemuda mantan tentara pelajar. Membentuk “pasukan khusus” berdasarkan Peraturan Penguasa Militer No. PRT/PM/06/1957 tentang Pemberantasan Korupsi karena aparat hukum tidak berjalan dan tidak berfungsi sehingga perlunya kampanye antikorupsi, memberantas orang-orang yang dianggap tak tersentuh dan kebal hukum, baik dari kalangan politisi, pengusaha, maupun pejabat.
Kemudian dikeluarkannya Pengaturan Penguasa Perang Pusat Angkatan Darat No.PRT/PEPERPU/013/1958 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Perbuatan Korupsi dan Pemilikan Harta Benda, selanjutnya Pemerintah dan DPR GR menerbitkan Undang-Undang No. 1 Tahun  1961 tentang penetapan perpu sebelumnya.

b.    Era Pemerintahan Soeharto (1967-1998)
Kebijakan dan gerakan pemberantasan Tipikor pada masa pemerintahan suharto dibagi menjadi beberapa periode yaitu :
1.    Periode 1967
2.    Periode 1970
3.    Periode 1971
4.    Periode 1977
5.    Periode 1980
6.    Periode 1982
c.    Era Pemerintahan B.J Habibie (1998-1999)
1.    Periode 1998
Pemerintahan pertamapasca reformasi yang dippimpin B.J. Habibie memotori upaya pemberantasan korupsi dengan menerbitkan setidaknya dua peraturan perundang-undangan bernuansa pemberantasan Tipikor yaitu:
a)    Tap MPR RI No.XI/MPR/1998 tentang Pemerintah yang bersih dan Bebas dari KKN, dihasilkan dalam sidang umum MPR 1998
b)    Undang-Undang No.28 Tahun1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bebas dari KKN, dihasilkan oleh Pemerintah dan DPR
2.    Periode 1999
Diterbitkannya Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasantipikor sebagai penyempurnaan dari Undang-Undang No 3 Tahun 1971, dimana Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 mengamanatkan pembentukan KPK
d.    Era Pemerintahan Abdurrahman Wahid (1999-2001)
Pada masa kepemimpinannya ada sejumlah peraturan yang dikeluarkan berkaitan dengan Tipikor, seperti Surat Keputusan presiden No. 127 Tahun 1999 dasar pembentukan KPKPN, kemuadian ada SK Presiden No 44 Tahun 2000 Tentang Komisi Ombudsman, selanjutnya ada Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2000 yang merupakan cikal baakal pembentukan  KPK
e.    Era Pemerintahan Megawati soekarnoputri (2001-2004)
Pada era Megawati direvisilah Undang-Undang No 31 Tahun 1999 menjadi Undang-Undang No 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tipikor, mengesahkan lima pimpinan KPK hasil pilihan komisi hukum dan DPR dll
f.     Era Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2009)
Semangat memberantas Korupsi pemerintahan Presiden SBY, diawal pemerintahannya diperkuat dengan menerbitkansejumlahh undang-undang serta keputusan/instruksi khusus presiden berkaitan dengan upaya pemberantasan korupsi serta tidak ketinggalan membentuk tim khusus
g.    Era Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (2009- sekarang)
1.    Membentuk UPK3R yang merupakan Satuan Kerja Presiden untuk Percepatan Program Reformasi dipimpin oleh koentoro mangkusubroto
2.    Membentuk Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum
3.    Pemerintah dan DPR menerbitkan UU No 3 Tahun 2009 tentang  Mahkamah Agung
4.    Menerbitkan UU No 5 Tahun 2009 tentang Pengesahan United Nations Conventions against Transnational Organized Crime (konfensi PBB Menentang Kejahatan Transnasional yang Terorganisasi)
5.    Menerbitkan UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan publik
6.    Menerbitkan UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
7.    Menerbitkan UU No 49 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tipikor


2.4.        Strategi Pencegahan dan Pemberantasan Tipikor

Di dalam Perpres Nomor 55 Tahun 2012 menyatakan bahwa strategi  Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi (PPK) memiliki visi jangka panjang dan menengah. Visi periode jangka panjang (2012-2025) adalah: “terwujudnya kehidupan bangsa yang bersih dari korupsi dengan didukung nilai budaya yang berintegritas”. Adapun untuk jangka menengah (2012-2014) bervisi “terwujudnya tata kepemerintahan yang bersih dari korupsi dengan didukung kapasitas pencegahan dan penindakan serta nilai budaya yang berintegritas”. Visi jangka panjang dan menengah itu akan diwujudkan di segenap ranah, baik di pemerintahan dalam arti luas, masyarakat sipil, hingga dunia usaha. Untuk mencapai visi tersebut, maka dirancang 6 strategi yaitu:
1.     Pencegahan. 
Korupsi masih terjadi secara masif dan sistematis. Praktiknya bisa berlangsung dimanapun, di lembaga negara, lembaga privat, hingga di kehidupan sehari-hari. Melihat kondisi seperti itu, maka pencegahan menjadi layak didudukkan sebagai strategi perdananya. Melalui strategi pencegahan, diharapkan muncul langkah berkesinambungan yang berkontribusi bagi perbaikan ke depan. Strategi ini merupakan jawaban atas pendekatan yang lebih terfokus pada pendekatan represif. Paradigma dengan pendekatan represif yang berkembang karena diyakini dapat memberikan efek jera terhadap pelaku tindak pidana korupsi (tipikor). Sayangnya, pendekatan represif ini masih belum mampu mengurangi perilaku dan praktik koruptif secara sistematis-massif. Keberhasilan strategi pencegahan diukur berdasarkan peningkatan nilai Indeks Pencegahan Korupsi, yang hitungannya diperoleh dari dua sub indikator yaitu Control of Corruption Index dan peringkat kemudahan berusaha (ease of doing business) yang dikeluarkan oleh World Bank. Semakin tinggi angka indeks yang diperoleh, maka diyakini strategi pencegahan korupsi berjalan semakin baik.
2.     Penegakan Hukum. 
Masih banyak kasus korupsi yang belum tuntas, padahal animo dan ekspektasi masyarakat sudah tersedot sedemikian rupa hingga menanti-nanti adanya penyelesaian secara adil dan transparan. Penegakan hukum yang inkonsisten terhadap hukum positif dan prosesnya tidak transparan, pada akhirnya, berpengaruh pada tingkat kepercayaan (trust) masyarakat terhadap hukum dan aparaturnya. Dalam tingkat kepercayaan yang lemah, masyarakat tergiring ke arah opini bahwa hukum tidak lagi dipercayai sebagai wadah penyelesaian konflik. Masyarakat cenderung menyelesaikan konflik dan permasalahan mereka melalui caranya sendiri yang, celakanya, acap berseberangan dengan hukum.
Belum lagi jika ada pihak-pihak lain yang memanfaatkan inkonsistensi penegakan hukum demi kepentingannya sendiri, keadaaan bisa makin runyam. Absennya kepercayaan di tengah-tengah masyarakat, tak ayal, menumbuhkan rasa tidak puas dan tidak adil terhadap lembaga hukum beserta aparaturnya. Pada suatu tempo, manakala ada upaya-upaya perbaikan dalam rangka penegakan hukum di Indonesia, maka hal seperti ini akan menjadi hambatan tersendiri. Untuk itu, penyelesaian kasus-kasus korupsi yang menarik perhatian masyarakat mutlak perlu dipercepat. Tingkat keberhasilan strategi penegakan hukum ini diukur berdasarkan Indeks Penegakan Hukum Tipikor yang diperoleh dari persentase penyelesaian setiap tahapan dalam proses penegakan hukum terkait kasus Tipikor, mulai dari tahap penyelesaian pengaduan Tipikor hingga penyelesaian eksekusi putusan Tipikor. Semakin tinggi angka Indeks Penegakan Hukum Tipikor, maka diyakini strategi Penegakan Hukum berjalan semakin baik.
3.     Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan. 
Meratifikasi UNCAC, adalah bukti konsistensi dari komitmen Pemerintah Indonesia untuk mempercepat pemberantasan korupsi. Sebagai konsekuensinya, klausul-klausul di dalam UNCAC harus dapat diterapkan dan mengikat sebagai ketentuan hukum di Indonesia. Beberapa klausul ada yang merupakan hal baru, sehingga perlu diatur/diakomodasi lebih-lanjut dalam regulasi terkait pemberantasan korupsi selain juga merevisi ketentuan di dalam regulasi yang masih tumpang-tindih menjadi prioritas dalam strategi ini. Tingkat keberhasilan strategi ini diukur berdasarkan persentase kesesuaian regulasi anti korupsi Indonesia dengan klausul UNCAC. Semakin mendekati seratus persen, maka peraturan perundang-undangan terkait pencegahan dan pemberantasan korupsi di Indonesia semakin lengkap dan sesuai dengan common practice yang terdapat pada negara-negara lain.
4.     Kerjasama Internasional dan Penyelamatan Aset Hasil Tipikor.
Berkenaan dengan upaya pengembalian aset hasil tipikor, baik di dalam maupun luar negeri, perlu diwujudkan suatu mekanisme pencegahan dan pengembalian aset secara langsung sebagaimana ketentuan UNCAC. Peraturan  perundang-undangan Indonesia belum mengatur pelaksanaan dari putusan penyitaan (perampasan) dari negara lain, lebih-lebih terhadap perampasan aset yang dilakukan tanpa adanya putusan pengadilan dari suatu kasus korupsi (confiscation without a criminal conviction). Penyelamatan aset perlu didukung oleh pengelolaan aset negara yang dilembagakan secara profesional agar kekayaan negara dari aset hasil tipikor dapat dikembalikan kepada negara secara optimal. Keberhasilan strategi ini diukur dari persentase pengembalian aset hasil tipikor ke kas negara berdasarkan putusan pengadilan dan persentase tingkat keberhasilan (success rate) kerjasama internasional terkait pelaksanaan permintaan dan penerimaan permintaan Mutual Legal Assistance (MLA) dan Ekstradisi. Semakin tinggi pengembalian aset ke kas negara dan keberhasilan kerjasama internasional, khususnya dibidang tipikor, maka strategi ini diyakini berjalan dengan baik.
5.     Pendidikan dan Budaya Antikorupsi. 
Praktik-praktik korupsi yang kian masif memerlukan itikad kolaboratif dari Pemerintah beserta segenap pemangku kepentingan. Wujudnya, bisa berupa upaya menanamkan nilai budaya integritas yang dilaksanakan secara kolektif dan sistematis, baik melalui aktivitas pendidikan anti korupsi dan internalisasi budaya anti korupsi di lingkungan publik maupun swasta. Dengan kesamaan cara pandang pada setiap individu di seluruh Indonesia bahwa korupsi itu jahat, dan pada akhirnya para individu tersebut berperilaku aktif mendorong terwujudnya tata-kepemerintahan yang bersih dari korupsi diharapkan menumbuhkan prakarsa-prakarsa positif bagi upaya PPK pada khususnya, serta perbaikan tata-kepemerintahan pada umumnya. Tingkat keberhasilan strategi ini diukur berdasarkan Indeks Perilaku Antikorupsi yang ada dikalangan tata-kepemerintahan maupun individu di seluruh Indonesia. Semakin tinggi angka indeks ini, maka diyakini nilai budaya anti korupsi semakin terinternalisasi dan mewujud dalam perilaku nyata setiap individu untuk memerangi tipikor.
6.     Mekanisme Pelaporan Pelaksanaan Pemberantasan Korupsi. 
Strategi yang mengedepankan  penguatan mekanisme di internal Kementerian/Lembaga, swasta, dan masyarakat, tentu akan memperlancar aliran data/informasi terkait progres pelaksanaan ketentuan UNCAC. Konsolidasi dan publikasi Informasi di berbagai media, baik elektronik maupun cetak, termasuk webportal PPK, akan mempermudah pengaksesan dan pemanfaatannya dalam penyusunan kebijakan dan pengukuran kinerja PPK. Keterbukaan dalam pelaporan kegiatan PPK akan memudahkan para pemangku kepentingan berpartisipasi aktif mengawal segenap upaya yang dilakukan oleh pemerintah, lembaga publik maupun sektor swasta. Keberhasilannya diukur berdasarkan indeks tingkat kepuasan pemangku kepentingan terhadap laporan PPK. Semakin tinggi tingkat kepuasan pemangku kepentingan, maka harapannya, semua kebutuhan informasi dan pelaporan terkait proses penyusunan kebijakan dan penilaian progres PPK dapat semakin terpenuhi sehingga upaya PPK dapat dikawal secara  berkesinambungan dan tepat sasaran.[5]



BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
           
            Korupsi berasal dari bahasa latin corruptio atau corrumpere, yang dikenal dengan korupsi di Indonesia. Tindak Pidana Korupsi dikatagorikan sebagai extaraordinanry crime karena dampak yang ditimbulkannya memang luar biasa. Sebab, Tipikor yang selama ini terjadi secara sistematik dan meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara, menggangu stabilitas dan keamanan masyarakat, serta melemahkan nilai- nilai demokrasi, etika, keadilan dan kepastian hukum sehingga dapat membahayakan kelangsungan pembangunan, tetapi juga telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas. Sehingga pemberantasannya haruslah dengan cara yang luar biasa pula    .
            Memerangi korupsi adalah tugas utama yang harus diselesaikan di masa reformasi, karena sangat mustahil memberantas kemiskinan, meningkatkan pelayanan kesehatan atau meningkatkan mutu pendidikan jika korupsi masih merajalela, karena korupsi adalah sumber bencana dan kejahatan (the roots of all evils)[6], yang mengakar keberbagai sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dimana tidak hanya menjalar pada birokrasi pemerintahan, tetapi juga ke sistem peradilan di Indonesia.
Upaya yang lebih efektif untuk diterapkan mulaii dari sekarang adalah dengan cara non penal artinya dengan menanamkan kesadaran atau menggunakan pendekatan keilmuan dan berdasarkan hati nurani pada setiap individu seperti rasa nasionalisme yang pada akhirnya akan memberikan dampak yang besar terhadap upaya pemberantasan korupsi, bukan dengan upaya penal yang sangat rapuh dan memiliki banyak kelemahan seperti biayanya yang mahal, sifatnya yang symtom (sementara) dan paradoksal sehingga penerapannya yang merupakan bagian hukum terkecil dalam sistem kontrol sosial yang besar tidak bukanlah senjata yang ampuh untuk melawan tindak pidana korupsi saat ini. Oleh karena itu sebagai wujud keseriusan pemerintah dalam memberantas korupsi dikeluarkanlah Perpres No 55 Tahun 2012 tentang Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Jangka Panjang Tahun 2012-2025 dan Jangka Menegah Tahun 2012-2014 agar menjadi pedoman bagi segenap pemangku kepentingan dalam bergerak ke arah yang sama. Adapun 6 strategi tersebut adalah pencegahan, penegakan hokum, harmonisasi peraturan perundang-undangan, kerjasama internasional dan penyelamatan asset hasil tipikor, pendidikan dan budaya anti korupsi dan mekanisme pelaporan pelaksanaan pemberantasan korupsi.

Daftar pustaka


            Aziz Syamsuddin, 2011, Tindak Pidana Khusus, Jakarta: Sinar Grafika
            http://4iral0tus.blogspot.com/2010/12/sistem-pemberantasan-dan-penegakan.html  Diakses 10 November 2013 pukul 14.00
http://id.wikipedia.org/wiki/Korupsi?veaction=edit Diakses 10 November 2013 pukul 14.00



[1] Aziz Syamsuddin, 2011, Tindak Pidana Khusus, Jakarta: Sinar Grafika, hal.175
[4]Aziz Syamsuddin, 2011, Tindak Pidana Khusus, Jakarta: Sinar Grafika, hal.182
[6] Aziz Syamsuddin, 2011, Tindak Pidana Khusus, Jakarta: Sinar Grafika, hal.175