Senin, 11 November 2013

Makalah Tipikor

BAB I
PENDAHULUAN

1.1         Latar Belakang

Perkembangan peradaban dunia semakin sehari seakan-akan berlari menuju modernisasi. Perkembangan yang selalu membawa perubahan dalam setiap sendi kehidupan tampak lebih nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan jaman dan bertransformasi dalam bentuk-bentuk yang semakin canggih dan beranekaragam. Kejahatan dalam bidang teknologi dan ilmu pengetahuan senantiasa turut mengikutinya. Kejahatan masa kini memang tidak lagi selalu menggunakan cara-cara lama yang telah terjadi selama bertahun-tahun seiring dengan perjalanan usia bumi ini. Bisa kita lihat contohnya seperti, kejahatan dunia maya (cybercrime), tindak pidana pencucian uang (money laundering), tindak pidana korupsi dan tindak pidana lainnya.
Salah satu tindak pidana yang menjadi musuh seluruh bangsa di dunia ini. Sesungguhnya fenomena korupsi sudah ada di masyarakat sejak lama, tetapi baru menarik perhatian dunia sejak perang dunia kedua berakhir. Dalam Kogres-kongres PBB mulai dari kedelapan hingga kesebelas menyebutkan dengan tegas bahwa korupsi itu sangat berbahaya karena akan merusak suatu bangsa, Di Indonesia sendiri fenomena korupsi ini sudah ada sejak Indonesia belum merdeka. Salah satu bukti yang menunjukkan bahwa korupsi sudah ada dalam masyarakat Indonesia jaman penjajahan yaitu dengan adanya tradisi memberikan upeti oleh beberapa golongan masyarakat kepada penguasa setempat.
Kemudian setelah perang dunia kedua, muncul era baru, gejolak korupsi ini meningkat di Negara yang sedang berkembang, Negara yang baru memperoleh kemerdekaan. Memerangi korupsi adalah tugas utama yang harus diselesaikan di masa reformasi, karena sangat mustahil memberantas kemiskinan, meningkatkan pelayanan kesehatan atau meningkatkan mutu pendidikan jika korupsi masih merajalela, karena korupsi adalah sumber bencana dan kejahatan (the roots of all evils)[1], yang mengakar keberbagai sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dimana tidak hanya menjalar pada birokrasi pemerintahan, tetapi juga ke sistem peradilan di Indonesia. Reimon Aron seorang sosiolog berpendapat bahwa korupsi dapat mengundang gejolak revolusi, alat yang ampuh untuk mengkreditkan suatu bangsa. Bukanlah tidak mungkin penyaluran akan timbul apabila penguasa tidak secepatnya menyelesaikan masalah korupsi. (B. Simanjuntak, S.H., 1981:310)[2]
Di Indonesia sendiri praktik korupsi sudah sedemikian parah dan akut. Telah banyak gambaran tentang praktik korupsi yang terekspos ke permukaan. Di negeri ini sendiri, korupsi sudah seperti sebuah penyakit kanker ganas yang menjalar ke sel-sel organ publik, menjangkit ke lembaga-lembaga tinggi Negara seperti legislatif, eksekutif dan yudikatif hingga ke BUMN. Apalagi mengingat di akhir masa orde baru, korupsi hampir kita temui dimana-mana. Mulai dari pejabat kecil hingga pejabat tinggi.
Walaupun demikian, peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur tentang tindak pidana korupsi sudah ada. Di Indonesia, undang-undang tentang tindak pidana korupsi sudah beberapa kali mengalami perubahan gunanya agar para pelaku Tipikor tidak dapat melepaskan diri dari jeratan hukum. Disamping itu, simbolisasi dari pemberantasan korupsi di indonesia terlihat dari terbentuknya tim Pemberantasan Tipikor pada setiap era kepemimpinan nasional mulai dari sukarno hingga masa SBY saat ini.
Ada tiga hal penting dalam upaya pencapaian tujuan negara yang bebas dari korupsi, yaitu : adanya peraturan yang bagus sesuai dengan ideologi bangsa Indonesia, adanya aparat penegak hukum yang bersih serta kesadaran dari masyarakat itu sendiri. Dimana Upaya pemenuhan ketiga unsur tersebut juga tidak mudah padahal, dibandingkan dengan upaya penal yang sangat rapuh dan memiliki banyak kelemahan seperti biayanya yang mahal, sifatnya yang symtom (sementara) dan paradoksal sehingga penerapannya yang merupakan bagian hukum terkecil dalam sistem kontrol sosial yang besar tidak bukanlah senjata yang ampuh untuk melawan tindak pidana korupsi saat ini.  

1.2         Rumusan Masalah
1.    Apa pengertian korupsi?
2.    Apa bahaya korupsi?
3.    Bagaimana kebijakan pemberantasan Tipikor hingga saat ini?
4.    Apa strategi pemberantasan Tipikor ?



BAB II
PEMBAHASAN


2.1.        Pengertian Korupsi
a.    UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1999 jo UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG  PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

Pasal 2 Ayat 1
·         Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Pasal 3
·         Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara
b.    Korupsi atau rasuah (bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok) adalah tindakan pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, serta pihak lain yang terlibat dalam tindakan itu yang secara tidak wajar dan tidak legal menyalahgunakan kepercayaan publik yang dikuasakan kepada mereka untuk mendapatkan keuntungan sepihak.
Jenis tindak pidana korupsi di antaranya, adalah:
1.Merugian keuangan dan perekonomian negara;
2.Suap menyuap-gratifikasi;
3.Penggelapan dalam jabatan;
4.Pemalsuan;
5.Pemerasan;
6.Perbuatan curang;
7.Benturan kepentingan dalam pengadaan.
      Menurut Sudarto (1976), korupsi merujuk pada perbuatan yang rusak, busuk tidak jujur yang dikaitkan dengan keuangan
      Hendry Campbell Black (1991), korupsi sebagai  perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak resmi dengan hak – hak dari pihak lain secara salah menggunakan jabatannya atau karakternya untuk mendapatkan suatu keuntungan untuk dirinya sendiri atau orang lain, berlawannan dengan kewajibannya dan hak- hak dari pihak  lain.

2.2.        Bahaya Korupsi
1.    Kongres PBB ke 8/1990 di Havana dalam laporannya menyatakan hakikat bahaya korupsi, yaitu dapat menghancurkan efektivitas potensial semua program pemerintah, dapat mengganggu/menghambat pembangunan dan menimbulkan korban individual dan kelompok.
2.    Kongres PBB ke-9/1995 di Kairo disebutkan bahwa korupsi dapat membahayakan stabilitas dan keamanan masyarakat, merusak nilai-nilai demokrasi dan moralitas, dan membahayakan pembangunan sosial, ekonomi dan politik.
3.    UN Convention Against Corruption 2003 diantaranya menyatakan bahwa korupsi adalah ancaman bagi keamanan dan kestabilan masyarakat, merusak nilai-nilai dan lembaga-lembaga demokrasi, merusak nilai-nilai moral dan keadilan, membahayakan “pembangunan yang berkelanjutan” dan “rule of law” dan mengancam stabilitas politik.
4.    Kongres PBB XI tahun 2005 juga menyatakan tentang hakikat bahaya korupsi, yaitu merintangi kemajuan sosial, ekonomi dan politik, sumber daya masyarakat dialokasikan tidak efisien, meningkatnya ketidakpercayaan terhadap lembaga-lembaga politik, produktivitas menurun, efisiensi administratif berkurang, merusak/mengurangi legitimasi tatanan politik dan mengganggu pembangunan ekonomi yang berakibat pada ketidakstabilan politik, lemahnya infrastruktur, sistem pendidikan dan kesehatan dan pelayanan sosial lainnya.

Korupsi juga berdampak terhadap lingkup:
a.    Demokrasi
Korupsi menunjukan tantangan serius terhadap pembangunan. Di dalam dunia politik, korupsi mempersulit demokrasi dan tata pemerintahan yang baik (good governance) dengan cara menghancurkan proses formal. Korupsi di pemilihan umum dan di badan legislatif mengurangi akuntabilitas dan perwakilan di pembentukan kebijaksanaan; korupsi di sistem pengadilan menghentikan ketertiban hukum; dan korupsi di pemerintahan publik menghasilkan ketidak-seimbangan dalam pelayanan masyarakat. Secara umum, korupsi mengkikis kemampuan institusi dari pemerintah, karena pengabaian prosedur, penyedotan sumber daya, dan pejabat diangkat atau dinaikan jabatan bukan karena prestasi. Pada saat yang bersamaan, korupsi mempersulit legitimasi pemerintahan dan nilai demokrasi seperti kepercayaan dan toleransi.
b.    Ekonomi
Korupsi juga mempersulit pembangunan ekonomi dengan membuat distorsi dan ketidak efisienan yang tinggi. Dalam sektor private, korupsi meningkatkan ongkos niaga karena kerugian dari pembayaran ilegal, ongkos manajemen dalam negosiasi dengan pejabat korup, dan risiko pembatalan perjanjian atau karena penyelidikan. Walaupun ada yang menyatakan bahwa korupsi mengurangi ongkos (niaga) dengan mempermudah birokrasi, konsensus yang baru muncul berkesimpulan bahwa ketersediaan sogokan menyebabkan pejabat untuk membuat aturan-aturan baru dan hambatan baru. Dimana korupsi menyebabkan inflasi ongkos niaga, korupsi juga mengacaukan "lapangan perniagaan". Perusahaan yang memiliki koneksi dilindungi dari persaingan dan sebagai hasilnya mempertahankan perusahaan-perusahaan yang tidak efisien.
Korupsi menimbulkan distorsi (kekacauan) di dalam sektor publik dengan mengalihkan investasi publik ke proyek-proyek masyarakat yang mana sogokan dan upah tersedia lebih banyak. Pejabat mungkin menambah kompleksitas proyek masyarakat untuk menyembunyikan praktek korupsi, yang akhirnya menghasilkan lebih banyak kekacauan. Korupsi juga mengurangi pemenuhan syarat-syarat keamanan bangunan, lingkungan hidup, atau aturan-aturan lain. Korupsi juga mengurangi kualitas pelayanan pemerintahan dan infrastruktur; dan menambahkan tekanan-tekanan terhadap anggaran pemerintah.

c.    Kesejahteraan umum negara

Korupsi politis ada di banyak negara, dan memberikan ancaman besar bagi warga negaranya. Korupsi politis berarti kebijaksanaan pemerintah sering menguntungkan pemberi sogok, bukannya rakyat luas.
2.3.        Kebijakan Pemberantasan Tipikor hingga saat ini
Pengaturan hukum pidana terhadap tindak pidana korupsi di Indonesia ditandai oleh banyaknya peraturan perundang-undangan tentang tipikor yang telah mengalami beberapa kali perubahan. Peraturan – peraturan itu adalah sebagai berikut:
1.    Peraturan Penguasa Militer No. PRT/PM/06/1957 tentang Pemberantasan Korupsi
2.    Pengaturan Penguasa Perang Pusat Angkatan Darat No.PRT/PEPERPU/013/1958 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Perbuatan Korupsi dan Pemilikan Harta Benda
3.    Peraturan Pemerintah Pengganti Undang –Undang (Perppu) No.24 Tahun 1940 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Perbuatan Korupsi
4.    Undang –Undang No.1 Tahun 1961 tentang Penetapan Perppu No.24 Tahun 1940 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Perbuatan Korupsi menjadi Undang-Undang
5.    Keputusan Presiden No. 228 Tahun 1967 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
6.    Undang-Undang No. 3 Tahun1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
7.    Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
8.    Undang –Undang No.20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Selain itu, pemerintah juga telah menerbitkan Undang-Undang No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) dan Undang-Undnag No. 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Tindak Pidana Korupsi.
Tujuan Pemerintah mebuat Undang –Undang merevisi atau mengganti Produk legislasi tersebut dilatarbelakangi oleh keinginan kuat untuk mendorong institusi yang berwenang dalam pemberantasan tipikor agar dapat menjangkau berbagai modus operandi Tipikor dan memalisir celah – celah hukum, yang dapat dijadikan alasan bagi pelaku tipikor untuk dapat melepaskan diri dari jeratan hukum menurut Charudin.[3]

            Kebijakan Antikorupsi dari Soekarno hingga SBY
                        Disamping ditandai oleh keberadaan berbagai peraturan perundang-undangan, semangat pemberantasan tipikor di Indonesia disimbolisir juga oleh terbentuknya “Tim Pemberantasan Tipikor” pada setiap era kepemimpinan nasional di Indonesia
a.    Era Pemerintahan Soekarno (1945-1966)
Muncul Gerakan Antikorupsi, dipimpin oleh Kolonel zulkifli yang seorang wakil staf AD yang bekerjasama dengan Jaksa Agung Suprapto serta melibatkan pemuda – pemuda mantan tentara pelajar. Membentuk “pasukan khusus” berdasarkan Peraturan Penguasa Militer No. PRT/PM/06/1957 tentang Pemberantasan Korupsi karena aparat hukum tidak berjalan dan tidak berfungsi sehingga perlunya kampanye antikorupsi, memberantas orang-orang yang dianggap tak tersentuh dan kebal hukum, baik dari kalangan politisi, pengusaha, maupun pejabat.
Kemudian dikeluarkannya Pengaturan Penguasa Perang Pusat Angkatan Darat No.PRT/PEPERPU/013/1958 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Perbuatan Korupsi dan Pemilikan Harta Benda, selanjutnya Pemerintah dan DPR GR menerbitkan Undang-Undang No. 1 Tahun  1961 tentang penetapan perpu sebelumnya.

b.    Era Pemerintahan Soeharto (1967-1998)
Kebijakan dan gerakan pemberantasan Tipikor pada masa pemerintahan suharto dibagi menjadi beberapa periode yaitu :
1.    Periode 1967
2.    Periode 1970
3.    Periode 1971
4.    Periode 1977
5.    Periode 1980
6.    Periode 1982
c.    Era Pemerintahan B.J Habibie (1998-1999)
1.    Periode 1998
Pemerintahan pertamapasca reformasi yang dippimpin B.J. Habibie memotori upaya pemberantasan korupsi dengan menerbitkan setidaknya dua peraturan perundang-undangan bernuansa pemberantasan Tipikor yaitu:
a)    Tap MPR RI No.XI/MPR/1998 tentang Pemerintah yang bersih dan Bebas dari KKN, dihasilkan dalam sidang umum MPR 1998
b)    Undang-Undang No.28 Tahun1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bebas dari KKN, dihasilkan oleh Pemerintah dan DPR
2.    Periode 1999
Diterbitkannya Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasantipikor sebagai penyempurnaan dari Undang-Undang No 3 Tahun 1971, dimana Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 mengamanatkan pembentukan KPK
d.    Era Pemerintahan Abdurrahman Wahid (1999-2001)
Pada masa kepemimpinannya ada sejumlah peraturan yang dikeluarkan berkaitan dengan Tipikor, seperti Surat Keputusan presiden No. 127 Tahun 1999 dasar pembentukan KPKPN, kemuadian ada SK Presiden No 44 Tahun 2000 Tentang Komisi Ombudsman, selanjutnya ada Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2000 yang merupakan cikal baakal pembentukan  KPK
e.    Era Pemerintahan Megawati soekarnoputri (2001-2004)
Pada era Megawati direvisilah Undang-Undang No 31 Tahun 1999 menjadi Undang-Undang No 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tipikor, mengesahkan lima pimpinan KPK hasil pilihan komisi hukum dan DPR dll
f.     Era Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2009)
Semangat memberantas Korupsi pemerintahan Presiden SBY, diawal pemerintahannya diperkuat dengan menerbitkansejumlahh undang-undang serta keputusan/instruksi khusus presiden berkaitan dengan upaya pemberantasan korupsi serta tidak ketinggalan membentuk tim khusus
g.    Era Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (2009- sekarang)
1.    Membentuk UPK3R yang merupakan Satuan Kerja Presiden untuk Percepatan Program Reformasi dipimpin oleh koentoro mangkusubroto
2.    Membentuk Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum
3.    Pemerintah dan DPR menerbitkan UU No 3 Tahun 2009 tentang  Mahkamah Agung
4.    Menerbitkan UU No 5 Tahun 2009 tentang Pengesahan United Nations Conventions against Transnational Organized Crime (konfensi PBB Menentang Kejahatan Transnasional yang Terorganisasi)
5.    Menerbitkan UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan publik
6.    Menerbitkan UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
7.    Menerbitkan UU No 49 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tipikor


2.4.        Strategi Pemberantasan Tipikor

Ada banyak cara untuk memberantas korupsi baik dengan cara penal dan non penal, salah satu cara non penal yaitu juga dapat menerapkan stategi pemberantasan tindak pidana korupsi oleh Muladi dimana ia menggambarkan persoalan hukum mengenai pemberantasan Tipikor ,melalui analisi SWOT yang bersifat dinamis dan komprehensif sehingga sangat bermanfaat untuk merumuskan taktik dan strategi pemberantasan Tipikor.
Analisis SWOT adalah metode perencanaan strategis yang digunakan untuk mengevaluasi kekuatan (strengths), kelemahan (weaknesses), peluang (opportunities), dan ancaman (threats) dalam suatu proyek atau suatu spekulasi bisnis. Keempat faktor itulah yang membentuk akronim SWOT (strengths, weaknesses, opportunities, dan threats).[4]
Adapun metode SWOT oleh Muladi adalah:  
1.    Kekuatan (strength),
pemberantasan korupsi di Indonesia selama ini adalah secara struktural dan substantif telah terjadi penyempurnaan, antara lain dalam bentuk keberadaan KPK dan berbagai pembaharuan perundang-undangan tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Di samping itu, adanya suasana kondusif berupa strong political will pemerintahan baru yang didukung kehendak masyarakat untuk memberantas KKN yang luar biasa, dan keberadaan RAN (Rencana Aksi Nasional) pemberantasan korupsi.
2.    Kelemahan (weakness)
adalah membentuk semangat profesionalisme (expertise,social responsibility and corporateness) SDM yang lemah, belum mantapnya reformasi birokrasi yang menjamin keberadaan nilai-nilai efektivitas, kebersihan dan demokrasi, sangat lemahnya koordinasi antarlembaga penegak hukum (arogansi sektoral), kepemimpinan sektoral yang seringkali mendemonstrasikan kemiskinan moral dan intelektual. Kemudian, mengakibatkan disiplin aparat yang lemah, kerjasama internasional yang lemah yaitu ekstradisi, Mutual Legal Assistance (MLA), transfer of proceeding, joint investigation, pelatihan, sosialisasi hukum tentang tindak pidana korupsi yang kurang, kesadaran yang lemah terhadap asas-asas (principles) tentang good governance dan general principles of good administration di lingkungan sektor publik serta asas-asas good corporate governance di lingkungan sektor privat lemahnya budaya anti korupsi (contoh money politics yang merebak) dan budaya malu, dan kurangnya kesadaran untuk mengembangkan preventive anti corruption strategy dan hanya memfokuskan diri pada langkah-langkah represif.
3.    Peluang (opportunity)
pemberantasan korupsi cukup besar berkat kepemimpinan nasional yang memiliki legitimasi sosial yang kuat karena dipilih langsung rakyat yang committed pada pemberantasan korupsi. Selain itu, keberadaan UN Convention Against Corruption 2003 menjanjikan kerjasama internasional yang lebih baik dan menguntungkan negara-negara berkembang; kesediaan pakar-pakar hukum pidana perguruan tinggi dan NGO's yang belum dimanfaatkan secara optimal.
4.    Tantangan (threat)
antara lain, masih adanya kekuatan-kekuatan yang tidak reformis dan cenderung bermental KKN, merosotnya citra penegak hukum karena belum menunjukkan kinerja pemberantasan korupsi yang memuaskan, kekuasaan kehakiman yang merdeka (independence of judiciary) yang seolah-olah untouchable namun kurang didukung oleh integritas, profesionalisme dan akuntabilitas yang memadai; 'fragmentasi' dan citra negatif terhadap sistem rekrutmen, promosi dan mutasi di lingkungan penegak hukum; kesejahteraan pegawai yang rendah (underpaid), melibatkan partai politik dalam pemerintahan tanpa konsep yang jelas antara tugas-tugas political apponitee dan pejabat karir, lemahnya pembenahan di lingkungan private sector, masih adanya ketentuan perundang-undangan yang menghambat pemberantasan tindak pidana korupsi, kepemimpinan penegak hukum di segala lini yang lemah, dan praktik-praktik selective law enforcement yang masih terjadi.[5]
Strategi pemberantasan tindak pidana korupsi mencakup dimensi yang luas, mengingat korupsi di Indonesia sudah dalam taraf yang sangat memprihatinkan. Beberapa hal yang perlu diperhatikan, di samping beberapa hal yang sudah dikemukakan di atas adalah:
a.    Rekrutmen kepemimpinan di segala lini yang anti KKN.
b.    Penguatan dan reformasi kelembagaan baik publik maupun privat terus menerus.
c.    Penguatan hukum, praktik hukum dan acaranya.
d.    Pembentukan lingkungan luas yang berbudaya anti korupsi, baik sektor publik maupun sektor privat.
e.    Pengembangan strategi yang proporsional antara langkah represif dan langkah preventif. Harmonisasi hukum terhadap perkembangan internasional (UN Convention Against Corruption, 2003).
f. Mendorong partisipasi masyarakat dalam pemberantasan korupsi.


BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
           
            Korupsi berasal dari bahasa latin corruptio atau corrumpere, yang dikenal dengan korupsi di Indonesia. Tindak Pidana Korupsi dikatagorikan sebagai extaraordinanry crime karena dampak yang ditimbulkannya memang luar biasa. Sebab, Tipikor yang selama ini terjadi secara sistematik dan meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara, menggangu stabilitas dan keamanan masyarakat, serta melemahkan nilai- nilai demokrasi, etika, keadilan dan kepastian hukum sehingga dapat membahayakan kelangsungan pembangunan, tetapi juga telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas. Sehingga pemberantasannya haruslah dengan cara yang luar biasa pula   .
            Memerangi korupsi adalah tugas utama yang harus diselesaikan di masa reformasi, karena sangat mustahil memberantas kemiskinan, meningkatkan pelayanan kesehatan atau meningkatkan mutu pendidikan jika korupsi masih merajalela, karena korupsi adalah sumber bencana dan kejahatan (the roots of all evils)[6], yang mengakar keberbagai sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dimana tidak hanya menjalar pada birokrasi pemerintahan, tetapi juga ke sistem peradilan di Indonesia.
            Upaya yang lebih efektif untuk diterapkan mulaii dari sekarang adalah dengan cara non penal artinya dengan menanamkan kesadaran atau menggunakan pendekatan keilmuan dan berdasarkan hati nurani pada setiap individu seperti rasa nasionalisme yang pada akhirnya akan memberikan dampak yang besar terhadap upaya pemberantasan korupsi, bukan dengan upaya penal yang sangat rapuh dan memiliki banyak kelemahan seperti biayanya yang mahal, sifatnya yang symtom (sementara) dan paradoksal sehingga penerapannya yang merupakan bagian hukum terkecil dalam sistem kontrol sosial yang besar tidak bukanlah senjata yang ampuh untuk melawan tindak pidana korupsi saat ini.

Daftar pustaka


            Aziz Syamsuddin, 2011, Tindak Pidana Khusus, Jakarta: Sinar Grafika
            http://id.wikipedia.org/wiki/Analisis_SWOT Diakses 11 November 2013 pukul 22.30 WIB
http://id.wikipedia.org/wiki/Korupsi?veaction=edit Diakses 10 November 2013 pukul 14.00






[1] Aziz Syamsuddin, 2011, Tindak Pidana Khusus, Jakarta: Sinar Grafika, hal.175
[3]Aziz Syamsuddin, 2011, Tindak Pidana Khusus, Jakarta: Sinar Grafika, hal.182
[4]http://id.wikipedia.org/wiki/Analisis_SWOT Diakses 11 November 2013 pukul 22.30 WIB
[5] Aziz Syamsuddin, 2011, Tindak Pidana Khusus, Jakarta: Sinar Grafika, hal.178-179
[6] Aziz Syamsuddin, 2011, Tindak Pidana Khusus, Jakarta: Sinar Grafika, hal.175

Tidak ada komentar:

Posting Komentar