BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Perkembangan peradaban dunia semakin sehari seakan-akan berlari menuju
modernisasi. Perkembangan yang selalu membawa perubahan dalam setiap sendi
kehidupan tampak lebih nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan
juga senantiasa mengikuti perkembangan jaman dan bertransformasi dalam
bentuk-bentuk yang semakin canggih dan beranekaragam. Kejahatan dalam bidang
teknologi dan ilmu pengetahuan senantiasa turut mengikutinya. Kejahatan masa
kini memang tidak lagi selalu menggunakan cara-cara lama yang telah
terjadi selama bertahun-tahun seiring dengan perjalanan usia bumi ini. Bisa
kita lihat contohnya seperti, kejahatan dunia maya (cybercrime), tindak
pidana pencucian uang (money laundering), tindak pidana korupsi
dan tindak pidana lainnya.
Salah satu tindak pidana yang menjadi musuh seluruh bangsa di dunia ini.
Sesungguhnya fenomena korupsi sudah ada di masyarakat sejak lama,
tetapi baru menarik perhatian dunia sejak perang dunia kedua berakhir. Dalam
Kogres-kongres PBB mulai dari kedelapan hingga kesebelas menyebutkan dengan
tegas bahwa korupsi itu sangat berbahaya karena akan merusak suatu bangsa, Di Indonesia sendiri
fenomena korupsi ini sudah ada sejak Indonesia belum merdeka. Salah satu bukti
yang menunjukkan bahwa korupsi sudah ada dalam masyarakat Indonesia jaman
penjajahan yaitu dengan adanya tradisi memberikan upeti oleh beberapa golongan
masyarakat kepada penguasa setempat.
Kemudian setelah perang dunia kedua, muncul era baru, gejolak korupsi ini
meningkat di Negara yang sedang berkembang, Negara yang baru memperoleh
kemerdekaan. Memerangi korupsi adalah tugas utama yang harus diselesaikan di
masa reformasi, karena sangat mustahil memberantas kemiskinan, meningkatkan
pelayanan kesehatan atau meningkatkan mutu pendidikan jika korupsi masih
merajalela, karena korupsi adalah sumber bencana dan kejahatan (the roots of
all evils)[1], yang
mengakar keberbagai sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
dimana tidak hanya menjalar pada birokrasi pemerintahan, tetapi juga ke sistem
peradilan di Indonesia. Reimon Aron seorang sosiolog berpendapat bahwa korupsi
dapat mengundang gejolak revolusi, alat yang ampuh untuk mengkreditkan suatu
bangsa. Bukanlah tidak mungkin penyaluran akan timbul apabila penguasa tidak
secepatnya menyelesaikan masalah korupsi. (B. Simanjuntak, S.H.,
1981:310)[2]
Di Indonesia sendiri praktik
korupsi sudah sedemikian parah dan akut. Telah banyak gambaran tentang praktik
korupsi yang terekspos ke permukaan. Di negeri ini sendiri, korupsi sudah
seperti sebuah penyakit kanker ganas yang menjalar ke sel-sel organ publik,
menjangkit ke lembaga-lembaga tinggi Negara seperti legislatif, eksekutif dan
yudikatif hingga ke BUMN. Apalagi mengingat di akhir masa orde baru, korupsi
hampir kita temui dimana-mana. Mulai dari pejabat kecil hingga pejabat tinggi.
Walaupun demikian, peraturan
perundang-undangan yang khusus mengatur tentang tindak pidana korupsi sudah
ada. Di Indonesia, undang-undang tentang tindak pidana korupsi sudah beberapa
kali mengalami perubahan gunanya agar para pelaku Tipikor tidak dapat
melepaskan diri dari jeratan hukum. Disamping itu, simbolisasi dari
pemberantasan korupsi di indonesia terlihat dari terbentuknya tim Pemberantasan
Tipikor pada setiap era kepemimpinan nasional mulai dari sukarno hingga masa
SBY saat ini.
Ada tiga hal penting dalam upaya
pencapaian tujuan negara yang bebas dari korupsi, yaitu : adanya peraturan yang
bagus sesuai dengan ideologi bangsa Indonesia, adanya aparat penegak hukum yang
bersih serta kesadaran dari masyarakat itu sendiri. Dimana Upaya pemenuhan
ketiga unsur tersebut juga tidak mudah padahal, dibandingkan dengan upaya penal
yang sangat rapuh dan memiliki banyak kelemahan seperti biayanya yang mahal,
sifatnya yang symtom (sementara) dan paradoksal sehingga penerapannya yang
merupakan bagian hukum terkecil dalam sistem kontrol sosial yang besar tidak
bukanlah senjata yang ampuh untuk melawan tindak pidana korupsi saat ini.
1.2
Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian korupsi?
2.
Apa bahaya korupsi?
3.
Bagaimana kebijakan pemberantasan Tipikor hingga saat ini?
4.
Apa strategi pemberantasan Tipikor ?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.
Pengertian Korupsi
a.
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1999 jo UNDANG-UNDANG
NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG
PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
Pasal 2 Ayat 1
·
Setiap orang yang secara melawan hukum
melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur
hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20
(dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Pasal 3
·
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang
lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana
yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara
b.
Korupsi atau rasuah
(bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere
yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok) adalah tindakan pejabat publik,
baik politisi maupun pegawai negeri, serta pihak lain yang terlibat dalam
tindakan itu yang secara tidak wajar dan tidak legal menyalahgunakan kepercayaan publik yang dikuasakan
kepada mereka untuk mendapatkan keuntungan sepihak.
Jenis tindak pidana korupsi di antaranya,
adalah:
1.Merugian keuangan dan perekonomian negara;
2.Suap menyuap-gratifikasi;
3.Penggelapan dalam jabatan;
4.Pemalsuan;
5.Pemerasan;
6.Perbuatan curang;
7.Benturan kepentingan dalam pengadaan.
• Menurut Sudarto (1976), korupsi merujuk pada perbuatan yang rusak, busuk
tidak jujur yang dikaitkan dengan keuangan
• Hendry Campbell Black (1991), korupsi sebagai perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk
memberikan suatu keuntungan yang tidak resmi dengan hak – hak dari pihak lain
secara salah menggunakan jabatannya atau karakternya untuk mendapatkan suatu
keuntungan untuk dirinya sendiri atau orang lain, berlawannan dengan
kewajibannya dan hak- hak dari pihak
lain.
2.2.
Bahaya Korupsi
1. Kongres PBB ke 8/1990 di Havana dalam laporannya menyatakan hakikat
bahaya korupsi, yaitu dapat menghancurkan efektivitas potensial semua program
pemerintah, dapat mengganggu/menghambat pembangunan dan menimbulkan korban
individual dan kelompok.
2. Kongres PBB ke-9/1995 di Kairo disebutkan bahwa korupsi dapat
membahayakan stabilitas dan keamanan masyarakat, merusak nilai-nilai demokrasi
dan moralitas, dan membahayakan pembangunan sosial, ekonomi dan politik.
3. UN Convention Against Corruption 2003 diantaranya menyatakan bahwa
korupsi adalah ancaman bagi keamanan dan kestabilan masyarakat, merusak
nilai-nilai dan lembaga-lembaga demokrasi, merusak nilai-nilai moral dan
keadilan, membahayakan “pembangunan yang berkelanjutan” dan “rule of law” dan
mengancam stabilitas politik.
4. Kongres PBB XI tahun 2005 juga menyatakan tentang hakikat bahaya
korupsi, yaitu merintangi kemajuan sosial, ekonomi dan politik, sumber daya
masyarakat dialokasikan tidak efisien, meningkatnya ketidakpercayaan terhadap
lembaga-lembaga politik, produktivitas menurun, efisiensi administratif
berkurang, merusak/mengurangi legitimasi tatanan politik dan mengganggu
pembangunan ekonomi yang berakibat pada ketidakstabilan politik, lemahnya
infrastruktur, sistem pendidikan dan kesehatan dan pelayanan sosial lainnya.
Korupsi juga berdampak terhadap lingkup:
a.
Demokrasi
Korupsi menunjukan tantangan serius terhadap
pembangunan. Di dalam dunia politik, korupsi mempersulit demokrasi
dan tata pemerintahan yang baik (good governance) dengan cara
menghancurkan proses formal. Korupsi di pemilihan umum dan di badan legislatif
mengurangi akuntabilitas dan perwakilan di pembentukan kebijaksanaan; korupsi
di sistem pengadilan menghentikan ketertiban hukum; dan korupsi di pemerintahan
publik menghasilkan ketidak-seimbangan dalam pelayanan masyarakat. Secara umum,
korupsi mengkikis kemampuan institusi dari pemerintah, karena pengabaian
prosedur, penyedotan sumber daya, dan pejabat diangkat atau dinaikan jabatan
bukan karena prestasi. Pada saat yang bersamaan, korupsi mempersulit legitimasi
pemerintahan dan nilai demokrasi seperti kepercayaan dan toleransi.
b.
Ekonomi
Korupsi
juga mempersulit pembangunan ekonomi
dengan membuat distorsi dan ketidak efisienan yang tinggi. Dalam sektor
private, korupsi meningkatkan ongkos niaga karena kerugian dari pembayaran ilegal,
ongkos manajemen dalam negosiasi dengan pejabat korup, dan risiko pembatalan
perjanjian atau karena penyelidikan. Walaupun ada yang menyatakan bahwa korupsi
mengurangi ongkos (niaga) dengan mempermudah birokrasi, konsensus yang baru
muncul berkesimpulan bahwa ketersediaan sogokan menyebabkan pejabat untuk
membuat aturan-aturan baru dan hambatan baru. Dimana korupsi menyebabkan
inflasi ongkos niaga, korupsi juga mengacaukan "lapangan perniagaan".
Perusahaan yang memiliki koneksi dilindungi dari persaingan dan sebagai
hasilnya mempertahankan perusahaan-perusahaan yang tidak efisien.
Korupsi menimbulkan distorsi (kekacauan) di
dalam sektor
publik dengan mengalihkan investasi publik ke
proyek-proyek masyarakat yang mana sogokan dan upah tersedia lebih banyak.
Pejabat mungkin menambah kompleksitas proyek masyarakat untuk menyembunyikan
praktek korupsi, yang akhirnya menghasilkan lebih banyak kekacauan. Korupsi
juga mengurangi pemenuhan syarat-syarat keamanan bangunan, lingkungan hidup,
atau aturan-aturan lain. Korupsi juga mengurangi kualitas pelayanan
pemerintahan dan infrastruktur; dan menambahkan tekanan-tekanan terhadap
anggaran pemerintah.
c. Kesejahteraan
umum negara
Korupsi
politis ada di banyak negara, dan memberikan ancaman besar bagi warga
negaranya. Korupsi politis berarti kebijaksanaan pemerintah
sering menguntungkan pemberi sogok, bukannya rakyat luas.
2.3.
Kebijakan Pemberantasan Tipikor hingga saat ini
Pengaturan hukum pidana terhadap tindak pidana korupsi di
Indonesia ditandai oleh banyaknya peraturan perundang-undangan tentang tipikor
yang telah mengalami beberapa kali perubahan. Peraturan – peraturan itu adalah
sebagai berikut:
1.
Peraturan Penguasa
Militer No. PRT/PM/06/1957 tentang Pemberantasan Korupsi
2.
Pengaturan Penguasa
Perang Pusat Angkatan Darat No.PRT/PEPERPU/013/1958 tentang Pengusutan,
Penuntutan, dan Pemeriksaan Perbuatan Korupsi dan Pemilikan Harta Benda
3.
Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang –Undang (Perppu) No.24 Tahun 1940 tentang Pengusutan,
Penuntutan, dan Pemeriksaan Perbuatan Korupsi
4.
Undang –Undang No.1
Tahun 1961 tentang Penetapan Perppu No.24 Tahun 1940 tentang Pengusutan,
Penuntutan, dan Pemeriksaan Perbuatan Korupsi menjadi Undang-Undang
5.
Keputusan Presiden No.
228 Tahun 1967 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
6.
Undang-Undang No. 3
Tahun1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
7.
Undang-Undang No. 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
8.
Undang –Undang No.20
Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Selain itu, pemerintah juga telah menerbitkan
Undang-Undang No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (KPK) dan Undang-Undnag No. 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Tindak
Pidana Korupsi.
Tujuan Pemerintah mebuat Undang –Undang merevisi atau
mengganti Produk legislasi tersebut dilatarbelakangi oleh keinginan kuat untuk
mendorong institusi yang berwenang dalam pemberantasan tipikor agar dapat
menjangkau berbagai modus operandi
Tipikor dan memalisir celah – celah hukum, yang dapat dijadikan alasan bagi
pelaku tipikor untuk dapat melepaskan diri dari jeratan hukum menurut Charudin.[3]
Kebijakan
Antikorupsi dari Soekarno hingga SBY
Disamping
ditandai oleh keberadaan berbagai peraturan perundang-undangan, semangat
pemberantasan tipikor di Indonesia disimbolisir juga oleh terbentuknya “Tim
Pemberantasan Tipikor” pada setiap era kepemimpinan nasional di Indonesia
a.
Era Pemerintahan
Soekarno (1945-1966)
Muncul Gerakan Antikorupsi, dipimpin oleh Kolonel
zulkifli yang seorang wakil staf AD yang bekerjasama dengan Jaksa Agung
Suprapto serta melibatkan pemuda – pemuda mantan tentara pelajar. Membentuk
“pasukan khusus” berdasarkan Peraturan Penguasa Militer No. PRT/PM/06/1957
tentang Pemberantasan Korupsi karena aparat hukum tidak berjalan dan tidak
berfungsi sehingga perlunya kampanye antikorupsi, memberantas orang-orang yang
dianggap tak tersentuh dan kebal hukum, baik dari kalangan politisi, pengusaha,
maupun pejabat.
Kemudian dikeluarkannya Pengaturan Penguasa Perang Pusat
Angkatan Darat No.PRT/PEPERPU/013/1958 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan
Pemeriksaan Perbuatan Korupsi dan Pemilikan Harta Benda, selanjutnya Pemerintah
dan DPR GR menerbitkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1961 tentang penetapan perpu sebelumnya.
b.
Era Pemerintahan
Soeharto (1967-1998)
Kebijakan dan gerakan pemberantasan Tipikor pada masa
pemerintahan suharto dibagi menjadi beberapa periode yaitu :
1.
Periode 1967
2.
Periode 1970
3.
Periode 1971
4.
Periode 1977
5.
Periode 1980
6.
Periode 1982
c.
Era Pemerintahan B.J
Habibie (1998-1999)
1.
Periode 1998
Pemerintahan pertamapasca reformasi yang dippimpin B.J.
Habibie memotori upaya pemberantasan korupsi dengan menerbitkan setidaknya dua
peraturan perundang-undangan bernuansa pemberantasan Tipikor yaitu:
a)
Tap MPR RI
No.XI/MPR/1998 tentang Pemerintah yang bersih dan Bebas dari KKN, dihasilkan
dalam sidang umum MPR 1998
b)
Undang-Undang No.28
Tahun1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bebas dari KKN, dihasilkan oleh
Pemerintah dan DPR
2.
Periode 1999
Diterbitkannya Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasantipikor sebagai penyempurnaan dari Undang-Undang No 3 Tahun 1971,
dimana Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 mengamanatkan pembentukan KPK
d.
Era Pemerintahan Abdurrahman
Wahid (1999-2001)
Pada masa kepemimpinannya ada sejumlah peraturan yang
dikeluarkan berkaitan dengan Tipikor, seperti Surat Keputusan presiden No. 127
Tahun 1999 dasar pembentukan KPKPN, kemuadian ada SK Presiden No 44 Tahun 2000
Tentang Komisi Ombudsman, selanjutnya ada Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun
2000 yang merupakan cikal baakal pembentukan
KPK
e.
Era Pemerintahan
Megawati soekarnoputri (2001-2004)
Pada era Megawati direvisilah Undang-Undang No 31 Tahun
1999 menjadi Undang-Undang No 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tipikor,
mengesahkan lima pimpinan KPK hasil pilihan komisi hukum dan DPR dll
f.
Era Pemerintahan Susilo
Bambang Yudhoyono (2004-2009)
Semangat memberantas Korupsi pemerintahan Presiden SBY,
diawal pemerintahannya diperkuat dengan menerbitkansejumlahh undang-undang
serta keputusan/instruksi khusus presiden berkaitan dengan upaya pemberantasan
korupsi serta tidak ketinggalan membentuk tim khusus
g.
Era Pemerintahan Susilo
Bambang Yudhoyono (2009- sekarang)
1.
Membentuk UPK3R yang merupakan
Satuan Kerja Presiden untuk Percepatan Program Reformasi dipimpin oleh koentoro mangkusubroto
2.
Membentuk Satuan Tugas
Pemberantasan Mafia Hukum
3.
Pemerintah dan DPR
menerbitkan UU No 3 Tahun 2009 tentang
Mahkamah Agung
4.
Menerbitkan UU No 5
Tahun 2009 tentang Pengesahan United
Nations Conventions against Transnational Organized Crime (konfensi PBB
Menentang Kejahatan Transnasional yang Terorganisasi)
5.
Menerbitkan UU No. 25
Tahun 2009 tentang Pelayanan publik
6.
Menerbitkan UU No. 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
7.
Menerbitkan UU No 49
Tahun 2009 tentang Pengadilan Tipikor
2.4.
Strategi Pemberantasan Tipikor
Ada banyak cara untuk memberantas korupsi baik dengan
cara penal dan non penal, salah satu cara non penal yaitu juga dapat menerapkan
stategi pemberantasan tindak pidana korupsi oleh Muladi dimana ia menggambarkan
persoalan hukum mengenai pemberantasan Tipikor ,melalui analisi SWOT yang
bersifat dinamis dan komprehensif sehingga sangat bermanfaat untuk merumuskan
taktik dan strategi pemberantasan Tipikor.
Analisis SWOT adalah metode perencanaan strategis yang digunakan untuk mengevaluasi kekuatan (strengths),
kelemahan (weaknesses), peluang (opportunities), dan ancaman (threats) dalam suatu proyek atau
suatu spekulasi bisnis. Keempat faktor itulah yang membentuk akronim SWOT (strengths, weaknesses, opportunities, dan threats).[4]
Adapun metode SWOT oleh Muladi adalah:
1.
Kekuatan (strength),
pemberantasan korupsi di Indonesia selama ini adalah secara struktural
dan substantif telah terjadi penyempurnaan, antara lain dalam bentuk keberadaan
KPK dan berbagai pembaharuan perundang-undangan tentang pemberantasan tindak pidana
korupsi. Di samping itu, adanya suasana kondusif berupa strong political will pemerintahan baru yang didukung
kehendak masyarakat untuk memberantas KKN yang luar biasa, dan keberadaan RAN
(Rencana Aksi Nasional) pemberantasan korupsi.
2.
Kelemahan (weakness)
adalah membentuk semangat profesionalisme (expertise,social responsibility and corporateness) SDM yang lemah, belum mantapnya reformasi
birokrasi yang menjamin keberadaan nilai-nilai efektivitas, kebersihan dan
demokrasi, sangat lemahnya koordinasi antarlembaga penegak hukum (arogansi
sektoral), kepemimpinan sektoral yang seringkali mendemonstrasikan kemiskinan
moral dan intelektual. Kemudian, mengakibatkan disiplin aparat yang lemah,
kerjasama internasional yang lemah yaitu ekstradisi, Mutual Legal Assistance (MLA), transfer of proceeding, joint investigation, pelatihan, sosialisasi hukum tentang tindak
pidana korupsi yang kurang, kesadaran yang lemah terhadap asas-asas
(principles) tentang good governance dan general
principles of good administration di
lingkungan sektor publik serta asas-asas good corporate governance di lingkungan sektor privat lemahnya
budaya anti korupsi (contoh money politics yang merebak) dan budaya malu, dan kurangnya kesadaran
untuk mengembangkan preventive
anti corruption strategy dan
hanya memfokuskan diri pada langkah-langkah represif.
3.
Peluang (opportunity)
pemberantasan korupsi cukup besar berkat kepemimpinan
nasional yang memiliki legitimasi sosial yang kuat karena dipilih langsung
rakyat yang committed pada pemberantasan korupsi. Selain itu, keberadaan UN Convention Against Corruption 2003 menjanjikan kerjasama
internasional yang lebih baik dan menguntungkan negara-negara berkembang;
kesediaan pakar-pakar hukum pidana perguruan tinggi dan NGO's yang belum
dimanfaatkan secara optimal.
4.
Tantangan (threat)
antara lain, masih adanya kekuatan-kekuatan yang tidak
reformis dan cenderung bermental KKN, merosotnya citra penegak hukum karena
belum menunjukkan kinerja pemberantasan korupsi yang memuaskan, kekuasaan
kehakiman yang merdeka (independence of judiciary) yang seolah-olah
untouchable namun kurang didukung oleh integritas, profesionalisme dan
akuntabilitas yang memadai; 'fragmentasi' dan citra negatif terhadap sistem
rekrutmen, promosi dan mutasi di lingkungan penegak hukum; kesejahteraan
pegawai yang rendah (underpaid), melibatkan partai politik dalam
pemerintahan tanpa konsep yang jelas antara tugas-tugas political apponitee dan pejabat karir, lemahnya pembenahan
di lingkungan private sector,
masih adanya ketentuan perundang-undangan yang menghambat pemberantasan tindak
pidana korupsi, kepemimpinan penegak hukum di segala lini yang lemah, dan
praktik-praktik selective law enforcement yang masih terjadi.[5]
Strategi pemberantasan
tindak pidana korupsi mencakup dimensi yang luas, mengingat korupsi di
Indonesia sudah dalam taraf yang
sangat memprihatinkan. Beberapa hal yang perlu diperhatikan, di samping
beberapa hal yang sudah dikemukakan di atas adalah:
a. Rekrutmen kepemimpinan di segala lini yang
anti KKN.
b. Penguatan
dan reformasi kelembagaan baik publik maupun privat terus menerus.
c. Penguatan
hukum, praktik hukum dan acaranya.
d. Pembentukan
lingkungan luas yang berbudaya anti korupsi, baik sektor publik maupun sektor
privat.
e. Pengembangan
strategi yang proporsional antara langkah represif dan langkah preventif.
Harmonisasi hukum terhadap perkembangan internasional (UN Convention Against Corruption, 2003).
f.
Mendorong partisipasi masyarakat dalam pemberantasan korupsi.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Korupsi berasal dari
bahasa latin corruptio atau corrumpere, yang dikenal dengan korupsi
di Indonesia. Tindak Pidana Korupsi dikatagorikan sebagai extaraordinanry crime karena dampak yang ditimbulkannya memang luar
biasa. Sebab, Tipikor yang selama ini terjadi secara sistematik dan meluas,
tidak hanya merugikan keuangan negara, menggangu stabilitas dan keamanan
masyarakat, serta melemahkan nilai- nilai demokrasi, etika, keadilan dan
kepastian hukum sehingga dapat membahayakan kelangsungan pembangunan, tetapi
juga telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas.
Sehingga pemberantasannya haruslah dengan cara yang luar biasa pula .
Memerangi
korupsi adalah tugas utama yang harus diselesaikan di masa reformasi, karena
sangat mustahil memberantas kemiskinan, meningkatkan pelayanan kesehatan atau
meningkatkan mutu pendidikan jika korupsi masih merajalela, karena korupsi
adalah sumber bencana dan kejahatan (the roots of all evils)[6], yang
mengakar keberbagai sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
dimana tidak hanya menjalar pada birokrasi pemerintahan, tetapi juga ke sistem
peradilan di Indonesia.
Upaya
yang lebih efektif untuk diterapkan mulaii dari sekarang adalah dengan cara non
penal artinya dengan menanamkan kesadaran atau menggunakan pendekatan keilmuan
dan berdasarkan hati nurani pada setiap individu seperti rasa nasionalisme yang
pada akhirnya akan memberikan dampak yang besar terhadap upaya pemberantasan
korupsi, bukan dengan upaya penal yang sangat rapuh dan memiliki banyak
kelemahan seperti biayanya yang mahal, sifatnya yang symtom (sementara) dan
paradoksal sehingga penerapannya yang merupakan bagian hukum terkecil dalam
sistem kontrol sosial yang besar tidak bukanlah senjata yang ampuh untuk
melawan tindak pidana korupsi saat ini.
Daftar
pustaka
Aziz Syamsuddin,
2011, Tindak Pidana Khusus, Jakarta: Sinar Grafika
http://agusthutabarat.wordpress.com/2009/11/06/tindak-pidana-korupsi-di-indonesia-tinjauan-uu-no-31-tahun-1999-jo-uu-no-20-tahun-2001-tentang-pemberantasan-tindak-pidana-korupsi/ Diakses 11
November 2013 pukul 22.15 WIB
http://4iral0tus.blogspot.com/2010/12/sistem-pemberantasan-dan-penegakan.html Diakses 10
November 2013 pukul 14.00
http://www.ubb.ac.id/menulengkap.php?judul=BAHAYA%20KORUPSI%20DAN%20INTEGRITAS%20PENEGAK%20HUKUM&&nomorurut_artikel=398 Diakses 10 November 2013 pukul 14.00
http://www.unodc.org/documents/southeastasiaandpacific//2011/02/1st-talk-series/presentation_Corruption_Prof_Rudi_Satrio.pdf Diakses 10 November 2013 pukul 14.00
http://riau.kemenag.go.id/file/file/produkhukum/lgkf1360853450.pdf Diakses 10 November 2013 pukul 14.00
Tidak ada komentar:
Posting Komentar